Page 179 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 16 JUNI 2021
P. 179
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar juga menyoroti ketentuan penerima JKP
dalam PP nomor 37 tahun 2021 tersebut. Menurutnya, penerima manfaat JKP yang tidak berlaku
bagi pekerja yang terkena PHK karena mengundurkan diri, cacat total, pensiun, dan meninggal
dunia, bisa membuat pekerja berkebutuhan khusus terbengkalai.
"Padahal narasi yang dibangun pemerintah adalah nanti akan dapat JKP. Dengan PP tentang
JKP, ternyata tak semua pekerja yang di-PHK akan mendapatkan JKP. Padahal, dana tunai dari
JKP itu bukan untuk bermewah-mewah, tetapi digunakan untuk bertahan hidup selama belum
mendapatkan pekerjaan," kata Timboel kepada Lokadata.id .
Pengecualian manfaat program JKP terhadap pekerja yang mengalami PHK akibat cacat total
tetap atau disabilitas sebaiknya juga harus dicabut. Kajian Trade Union Rights Center (TURC)
menilai, hal tersebut bertentangan dengan hak asasi para pekerja disabilitas.
Di sini, TURC menyoroti kebijakan BP Jamsostek dan pemerintah yang seharusnya membuat
skema JKP yang lebih memudahkan dan memberikan nilai lebih besar kepada pekerja disabilitas,
yang notabenenya memiliki kebutuhan biaya lebih tinggi untuk kembali memperoleh pekerjaan.
Selain itu, aturan pengecualian manfaat JKP terhadap disabilitas juga bertolak belakang dengan
program BPJS Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) yang menyosialisasikan Return to Work (RTW) .
Program tersebut merupakan pendampingan peserta yang mengalami kecelakaan kerja sehingga
mengakibatkan cacat atau berpotensi cacat.
Dengan pandangan dari TURC serta semangat BPJS dalam menggaungkan program RTW,
pemerintah seharusnya bisa menertibkan aturan JKP secara substantif agar sesuai dengan
maksud diadakannya program JKP itu sendiri, yakni mempertahankan derajat kehidupan yang
layak pada seluruh pekerja/ buruh yang kehilangan pekerjaan.
Penggunaan frasa 'cacat total' di dalam PP JKP tidak tepat Selain masalah aturan JKP terhadap
pekerja/ buruh disabilitas, ada satu persoalan yang harus diperhatikan oleh pemerintah yaitu
pemilihan salah satu frasa yang terdapat di dalam PP JKP, yakni 'cacat total' yang bisa diganti
menjadi penyandang disabilitas.
Sebab, menurut Undang-undang (UU) No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, kata
'cacat' yang sebelumnya diatur di dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat,
sudah tidak sesuai dengan paradigma kebutuhan penyandang disabilitas sehingga diganti
dengan UU yang baru.
Bunyi UU No. 8 Tahun 2016 pasal 151; pada saat UU ini mulai berlaku, UU Nomor 4 Tahun 1997
tentang Penyandang Cacat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3670), dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Di sisi lain, perubahan kata 'cacat' menjadi disabilitas sebenarnya sudah dilakukan oleh Indonesia
bahkan dunia, di mana setiap tanggal 3 Desember diperingati sebagai Hari Disabilitas
Internasional (HDI), bukan lagi Hari Penyandang Cacat (Hipenca).
Perubahan nama dari penyandang cacat menjadi disabilitas ini muncul setelah Indonesia
meratifikasi konvensi PBB yaitu UN Convention on The right of Person with Disability .
Penggantian istilah ini patut diapresiasi. Pasalnya, kata 'cacat' kini dirasa tidak pas dan kerap
memiliki konotasi negatif. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata 'cacat'
merupakan kekurangan yang menyebabkan nilai atau mutunya menjadi kurang baik atau kurang
sempurna.
178