Page 227 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 9 AGUSTUS 2021
P. 227
Kita beralih ke dampak berikutnya yang membuat saya berpikir apakah manusia buruh Indonesia
dipandang sebagai robot? Undang-undang Omnibus Law Cipta Kerja telah mengubah pasal UU
78 UU Ketenagakerjaan tentang waktu kerja lembur menjadi pada Pasal 81 poin 22.
Dulu yang saya ketahui, di dalam UU Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa waktu kerja lembur
hanya boleh dilakukan paling banyak 3 jam dalam sehari dan 14 jam dalam seminggu.
Namun, dengan perubahan yang terjadi di dalam UU Cipta Kerja, waktu lembur bertambah
menjadi paling lama 4 jam dalam sehari dan 18 jam dalam seminggu. Selain itu, pada Pasal 81
poin 79 juga menghapus tentang ketentuan cuti panjang yaitu 1 bulan pada tahun ke-7 dan 1
bulan pada tahun ke-8.
Padahal, awalnya di dalam UU Ketenagakerjaan ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 79 ayat
4 huruf d. Namun, sekarang ketentuan cuti tersebut hilang untuk para pekerja.
Jika saya perhatikan isi dari pasal yang ada di dalam UU Cipta Kerja tersebut, itu artinya sama
saja membuat para pekerja kontrak/buruh semakin tertekan dengan adanya penambahan jam
lembur. Terlebih lagi adanya penghapusan cuti, itu artinya pemerintah atau perusahaan tidak
memberikan kesejahteraan bagi para pekerja kontrak/buruh, padahal mereka sama seperti
pekerja tetap lainnya yang memberikan kontribusi untuk perusahaan. Ckckck, mari mengelus
dada.
Tidak Ada Lagi UMK
Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan upah minimum yang berdasarkan pada wilayah provinsi
atau kota/kabupaten telah dihapus dari UU Ketenagakerjaan. Saat ini UU Cipta Kerja sudah tidak
mengaturnya. Namun, pemerintah membuat gantinya yaitu gubernur dapat menetapkan upah
minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu berdasarkan kondisi pertumbuhan ekonomi
daerah dan inflasi pada kabupaten/kota tersebut.
Berdasarkan pasal tersebut, saya terkagum-kagum sinis saat mengetahui bahwa pekerja
kontrak/buruh bisa saja dibayar murah oleh perusahaan. Mungkin untuk daerah DKI Jakarta
tidak terlalu masalah karena tidak ada kabupaten/kota, namun bagaimana dengan daerah di luar
DKI Jakarta?
Itu artinya perusahaan bisa saja memberikan gaji atau upah yang tidak seharusnya. Hal ini
tentunya sangat membebankan para pekerja kontrak/buruh, sedangkan perusahaan hanya
seenaknya saja memberikan upah kepada mereka.
Meskipun disebutkan sebagai gantinya pemberian upah kepada pekerja berdasarkan syarat
tertentu seperti kondisi pertumbuhan ekonomi daerah dan lain-lain, hal itu tidak menutup
kemungkinan untuk perusahaan atau tempat kerja memberikan upah yang tidak sesuai dengan
apa yang dikerjakan oleh mereka.
Ketidakjelasan ini sangat mungkin dimanfaatkan oknum-oknum pengunyah permen karet.
Hukum bisa ditarik sana sini persis seperti permen karet.
PHK Tanpa Ada Surat Peringatan
Pengaruh lainnya dengan adanya Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini adalah dapat
bertambahnya alasan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) yang tertuang di dalam pasal 154A,
sehingga para pekerja kontrak/buruk dapat dengan mudah di PHK. Misalnya, perusahan ini
melakukan efisiensi, maka bisa saja mereka langsung memberikan PHK tanpa adanya surat
peringatan 1,2 ataupun 3.
226