Page 48 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 02 OKTOBER 2020
P. 48

Serikat  pekerja  segera  memasuki  "pertempuran"  baru  melawan  rezim  fleksibilitas.
              Pascapengesahan omnibus law tentunya akan diakselerasi  pemerintah dan pengusaha untuk
              mereset ketenagakerjaan. Termasuk serikat pekerja/buruh yang berusaha dipinggirkan.

              Dalam  tingkat  pabrik,  hal  ini  semakin  digencarkan,  misalnya  lewat  kerja  sama  pemodal  dan
              pemasok  tenaga  kerja.  Buruh  kontrak  dipekerjakan  lewat  agen  penyalur  tenaga  kerja,  dan
              kewajiban perusahaan menjadi berkurang untuk memenuhi hak normatif buruh.

              Bisa jadi nantinya buruh punya dua majikan dan sangat rentan mengalami eksploitasi dari kedua
              pihak (misalnya, sudah dapat upah rendah, masih harus dipotong upahnya oleh agen penyalur).
              Pihak pengusaha cenderung mempekerjakan buruh kontrak dalam sektor yang selama ini tidak
              boleh.

              Salah satu pasal krusial yang selama ini menjadi dalih pengusaha karena dianggap memberatkan
              dunia usaha adalah pasal-pasal tentang PHK dan pesangon. Kewajiban pesangon di Indonesia
              dianggap tinggi sehingga menghambat masuknya investasi.
              Akibat pesangon dianggap tinggi, pengusaha berusaha menghindarinya dengan cara mengubah
              status karyawan tetap menjadi karyawan kontrak atau outsourcing.

              Hanya, untuk mengubah status karyawan tetap menjadi karyawan kontrak tersebut, pengusaha
              terhambat oleh pasal-pasal tentang hubungan kerja di dalam UU Nomor 13/2003, karena adanya
              persyaratan-persya-ratan yang harus dipenuhi, seperti waktu maksimum hanya tiga tahun dan
              hanya untuk pekerjaan pendukung (supporting). Sementara itu, pekerjaan inti atau core busi-
              ness harus karyawan tetap.

              Oleh  karena  itu,  pengusaha  berusaha  untuk  mengganti  pasal-pasal  tentang  penggunaan
              karyawan kontrak dan outsourcing melalui omnibus law dengan pasal-pasal yang membebaskan
              penggunaan karyawan kontrak. Pengusaha ketika memPHK pun tinggal memutus kontrak dan
              tidak perlu membayar pesangon.
              Keluhan pengusaha tentang upah lebih disebabkan pasal-pasal tentang upah minimum (UM) di
              dalam UU Nomor 13/2003 dianggap berjenjang, seperti ada upah minimum provinsi (UMP), upah
              minimum kabupaten/kota (UMK), dan upah minimum sektoral.

              Sesungguhnya  pasal-pasal  tentang  UM  tersebut  relatif  lebih  mudah  diselesaikan,  karena  UM
              adalah kebutuhan minimal pekerja untuk hidup normal, tidak terkait dengan pendidikan maupun
              keahlian, sehingga membutuhkan analisa dari berbagai sudut keilmuan. Dengan metode ilmu
              pengetahuan tersebut hasilnya tidak terbantahkan.

              Pasal-pasal di dalam RUU Cipta Kerja yang membebaskan penggunaan karyawan kontrak dan
              outsourcing  inilah  yang  ditolak  oleh  mayoritas  pekerja.  Demikian  pula  pasal-pasal  tentang
              PHK/pesangon, hubungan kerja, upah minimum, dan TKA.

              Negara hadir

              Selama  ini  seluruh  beban  pekerja  dibebankan  sepenuhnya  kepada  pengusaha  yang  telah
              menanggung berbagai kewajiban jaminan sosial pekerja seperti tunjangan pensiun, hari tua,
              kesehatan, perumahan, dan lain-lain. Ditambah lagi beban pesangon ketika mem-PHK, untuk
              menghindari pesangon tersebut, pengusaha berusaha menggunakan karyawan kontrak.

              Sebaliknya bagi karyawan kontrak ketika ter-PHK (diputus kontraknya) tak mendapat pesangon
              atau  dengan  kata  lain  tidak  ada  keberlangsungan  pendapatannya.  Pesangon  secara  filosofi
              adalah keberlangsungan pendapatan ketika ter-PHK.




                                                           47
   43   44   45   46   47   48   49   50   51   52   53