Page 145 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 AGUSTUS 2020
P. 145

Dewi menilai, ketentuan tersebut dapat mempermudah proses alih fungsi lahan pertanian dan
              berpotensi  merugikan  kelompok  petani.  Proses  alih  fungsi  lahan  yang  dipermudah,  menurut
              Dewi, akan memperparah konflik agraria, ketimpangan kepemilikan lahan, praktik perampasan
              dan penggusuran tanah.

              "Atas nama pengadaan tanah untuk pembangunan dan kepentingan umum, RUU Cipta Kerja
              akan  memperparah  konflik  agaria,  ketimpangan,  perampasan  dan  penggusuran  tanah
              masyarakat," kata Dewi.

              Menurut Dewi, argumentasi penambahan kategori kepentingan umum ini merupakan hambatan
              dan keluhan para  investor  terkait pengadaan dan pembebasan lahan bagi proyek pembangunan
              infrastruktur serta kegiatan bisnis.

              "Lewat  RUU  Cipta  Kerja,  pemerintah  memperluas  definisi  kepentingan  umum  dengan
              menambahkan kepentingan investor pertambangan, pariwisata, industri dan kawasan ekonomi
              khusus (KEK) ke dalam kategori kepentingan umum," ujar Dewi.
              Dewi menekankan, pengadaan tanah tidak dapat dilihat sebatas proses penyediaan tanah bagi
              pembangunan proyek infrastruktur atau industri semata.

              Namun,  juga  harus  diperhitungkan  dampak  sistemik  terkait  degradasi  ekonomi,  sosial  dan
              budaya pada lokasi yang menjadi obyek pengadaan tanah serta masyarakat.

              "Harus  diingat,  tanpa  RUU  Cipta  Kerja  pun,  UU  pengadaan  tanah  secara  praktiknya  telah
              mengakibatkan konflik agraria dan penggusuran," tutur dia.

              Lebih lanjut, Dewi menegaskan bahwa kewenangan pemerintah dalam pengadaan tanah harus
              tetap dipegang penuh sesuai asas umum pemerintahan yang baik dan berkeadilan.

              Sebab, kata Dewi, proses pengadaan tanah, pembebasan lahan dan penetapan ganti kerugian
              dijalankan secara tidak transparan dan tidak berkeadilan.

              Bahkan,  ia  mengatakan,  tidak  sedikit  terjadi  unsur  pemaksaan  dan  intimidasi  terhadap
              masyarakat  yang  tanahnya  menjadi  target  pembebasan.  Selain  itu,  peran  dan  kewenangan
              swasta semakin menempatkan posisi masyarakat dalam situasi rentan.

              "Pengadaan  tanah  sering  kali  mengesampingkan  prinsip  keadilan,  karena  bagi  pihak  yang
              menolak  bentuk  dan  besaran  ganti  rugi,  prosesnya  dititipkan  di  Pengadilan  Negeri  sehingga
              mempermudah proses penggusuran tanah masyarakat," tutur Dewi.

              Jangka waktu hak pengelolaan 90 tahun  Selain itu, Dewi mengkritik perubahan ketentuan jangka
              waktu hak atas tanah di atas hak pengelolaan.

              Berdasarkan Pasal 127 ayat (3) hak pengelolaan diberikan selama 90 tahun. Hak pengelolaan ini
              dapat berupa hak guna usaha ( HGU), hak guna bangunan (HGB) dan hak pakai (HP).

              Sedangkan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
              (UUPA) telah mengatur bahwa jangka waktu HGU diberikan selama 25 atau 35 tahun kepada
              pemohon yang memenuhi persyaratan.

              "Pada masa penjajahan saja pemberian konsesi pada perkebunan Belanda hanya 75 tahun," ujar
              Dewi.

              "Sekarang RUU Cipta Kerja mau menjadikan HGU berumur 90 tahun, lebih parah dibanding saat
              kita masih dijajah," ungkapnya.




                                                           144
   140   141   142   143   144   145   146   147   148   149   150