Page 166 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 OKTOBER 2020
P. 166
skandal, karena banyak hal aneh yang ditemukan. Kejanggalan pertama adalah naskah RUU
yang disembunyikan saat pembahasan di pemerintah.
Saat RUU tersebut dibuat, banyak pihak yang kesulitan mencari naskah, namun tak kunjung
mendapatkan akses. "Kedua, pada akhirnya kami tahu bahwa naskah itu disusun oleh Satgas
Omnibus Law, isinya 127 pengusaha yang punya konflik kepentingan," ungkapnya.
Sebagai contoh, berdasarkan temuan yang dirilis Koalisi Bersihkan Indonesia, royalti tambang
bisa 0 persen. "Logika di balik pembangunan kan agar ada uang masuk ke negara. Kalau
royaltinya 0 persen, lalu negara dapat apa.
Buat apa ada pembangunan," ujar dia. Temuan ketiga adalah dilaksanakannya sidang di
hotelhotel mewah, bahkan ada yang menggunakan uang pribadi anggota DPR. Temuan lain,
pembahasan tingkat II dilakukan saat naskah final RUU belum jelas dan tidak dibagikan ke
anggota DPR. "Pembahasan tingkat I juga tidak disebutkan dalam undangan sidang tanggal 6
Oktober lalu. Awalnya kami tahu bahwa sidang akan berjalan 8 Oktober.
Kemudian temanteman buruh mengumumkan akan menyelenggarakan aksi. Tiba-tiba saja
tanggal diubah, alasannya tidak jelas," tutur Asfinawati. Keanehan lainnya adalah adanya
penyusupan klaster pajak pada akhir persidangan. Sejatinya, klaster ini tidak muncul dalam
naskah akademis.
Belum lagi pembahasan yang dikebut hingga tengah malam, hal yang jarang dilakukan oleh DPR.
Padahal ada surat edaran dari Sekretariat DPR bahwa selama pandemi Covid-19 sidang digelar
Senin sampai Jumat dengan batas waktu pukul 17.00.
Selain itu, sidang tetap dilanjutkan meskipun kasus positif Covid-19 di DPR cukup banyak.
Temuan juga menyebutkan pembahasan tingkat II hanya dihadiri 318 dari total 575 anggota
Dewan yang hadir secara fisik maupun virtual. Artinya, 257 legislator tidak hadir.
Dengan kata lain, kecil sekali partisipasi anggota Dewan yang menyetujui. Temuan kesepuluh,
sidang penutupan yang direncanakan berlangsung tanggal 8 Oktober, dimajukan menjadi 5
Oktober. Temuan terakhir, lanjut Asfinawati, draf RUU Ciptaker dibuat tanpa kajian atau naskah
akademis terlebih dahulu.
"Sebenarnya bukan tidak ada naskah akademis. Dalam gugatan di PTUN, pemerintah mengakui
bahwa naskah akademis dibuat bersamaan dengan RUU. Padahal UU 12 Tahun 2011 sangat
ketat menyatakan naskah akademis dulu diadakan, sebelum dibuat RUU," bebernya.
Asfinawati juga mengkritik fakta bahwa anggota DPR yang hadir pada saat pengesahan pun
hingga kini belum memperoleh salinan fisik UU. Hal tersebut makin menimbulkan keanehan
dalam penyusunan UU Ciptaker.
Diragukan Sementara itu, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Padang Feri Amsari
meragukan opsi uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) seperti disarankan Presiden Joko
Widodo kepada masyarakat yang menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja. Feri mengatakan,
Jokowi telah menitipkan urusan Omnibus Law ke MK awal tahun lalu.
Selain itu, pada 1 September lalu pemerintah dan DPR mengesahkan revisi Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi secepat kilat. "MK sudah dinaikkan masa jabatannya oleh Jokowi.
Bagaimana mungkin mereka akan menjatuhkan putusan yang adil?" kata Feri.
Titipan Jokowi kepada MK, seperti diutarakan Feri, merujuk pada acara "Penyampaian Laporan
Tahunan Mahkamah Konstitusi Tahun 2019" di Gedung MK, 28 Januari 2020. Acara tersebut
dihadiri Ketua MK Anwar Usman, Ketua DPR Puan Maharani, dan pejabat terkait lainnya. Dalam
acara itu, Jokowi meminta dukungan MK terkait pengajuan Omnibus Law UU Cipta Kerja dan
165