Page 266 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 12 OKTOBER 2020
P. 266

Pengacara  kondang  Hotman Paris  angkat bicara terkait polemik disahkannya UU  Omnibus Law
              Cipta Kerja  yang memicu kontroversi. Baik pemerintah maupun DPR, sampai saat ini belum
              merilis draf final  UU Cipta Kerja  .

              Menurut Hotman, berdasarkan pengalamannya puluhan tahun menjadi advokat, permasalahan
              yang sering dihadapi pekerja atau  buruh  adalah sulitnya menuntut hak  pesangon  .

              "Terlepas setuju atau tidak omnibus law, dalam 36 tahun pengalaman saya menjadi  pengacara
              . Masalah yang dihadapi buruh adalah dalam menuntut pesangon, karena prosedur hukumnya
              sangat panjang," ucap Hotman dikutip dari akun Instagram resminya, Minggu (11/10/2020).

              Selama ini, banyak kasus  perusahaan  yang tidak membayarkan hak pesangon sebagaimana
              diatur dalam UU Ketenagakerjaan. Namun pekerja korban  PHK  dihadapkan pada kondisi sulit
              karena prosedur menuntut pesangon hingga sampai ke  pengadilan  bukan perkara gampang.

              Tuntutan pesangon hingga ke meja pengadilan seringkali terpaksa ditempuh pekerja korban PHK
              karena  selama  ini  Kementerian  Ketenagakerjaan  maupun  Dinas  Ketenagakerjaan  di  daerah
              umumnya tak banyak membantu menekan perusahaan.

              Di sisi lain, untuk menuntut hak pesangon ke pegadilan, butuh pengacara yang memakan biaya
              yang tak sedikit. Itu pun belum tentu putusan pengadilan memenangkan pekerja korban PHK.

              "Dimulai dengan kalau majikan menolak lalu melalui dewan pengawas Depnaker (Departemen
              Tenaga Kerja). Depnaker tidak punya  power  hanya berupa syarat, mau tidak mau si buruh
              harus ke pengadilan," ungkap Hotmen.

              "Di  pengadilan  bisa  sampai  peninjauan  kembali  (PK)  ke  Mahkamah  Agung  (MA),  bayangkan
              bayar honor pengacara berapa, bisa-bisa honor pengacara lebih besar daripada pesangonnya,"
              kata dia lagi.
              Ia  berujar,  terlepas  apakah  besaran  pesangon  mengacu  pada  aturan  lama  yakni  UU
              Ketenagakerjaan  ataupun  direvisi  di  UU  Cipta  Kerja,  pemerintah  juga  seharusnya  prioritas
              memastikan pekerja atau buruh korban PHK mendapat pesangonnya sesuai aturan yang berlaku.

              Contohnya,  lanjut  Hotman,  pemerintah  bisa  mengeluarkan  aturan  yang  memudahkan  dan
              mempersingkat pengajuan tuntutan hak pesangon bagi pekerja korban PHK di pengadilan.

              "Itulah  masalah  utama  yang  dihadapi  buruh.  Sementara  si  buruh  tidak  punya  kemampuan
              beracara  di    Pengadilan    .  Jadi  rubah  hukum  acaranya,  persingkat  itu  kalau  mau  menolong
              buruh," tegas Hotman.

              Sebagai informasi, salah satu pasal kontroversial dalam UU Cipta Kerja adalah besaran uang
              pesangon bagi karyawan korban PHK yang dinilai menyusut. Besaran pesangon terbaru itu diatur
              dalam Pasal 156 UU Omnibus Law Cipta Kerja.

              Pasalnya, pemerintah dan DPR sepakat untuk mengubah besaran nilai maksimal pesangon yang
              didapatkan pekerja menjadi sebesar 25 kali upah yang terdiri atas 19 kali upah bulanan buruh,
              serta 6 kali jaminan kehilangan pekerjaan (JKP).

              UU Cipta Kerja, pasal mengenai tambahan pesangon yang didapatkan pekerja bila perusahaan
              melakukan efisiensi dihapus. Ini berbeda dengan pasal yang ada di UU Ketenagakerjaan yang
              mewajibkan membayar pesangon lebih besar jika PHK dilakukan dengan alasan efisiensi.

              Berikut  aturan  rincian  uang  pesangon  yang  diterima  pekerja  dalam  UU  Cipta  Kerja:    Uang
              Pesangon   Uang penghargaan masa kerja   Sebagai informasi, RUU Cipta Kerja merupakan RUU
              yang  diusulkan  Presiden  Jokowi  dan  merupakan  RUU  Prioritas  Tahun  2020  dalam  Program
              Legislasi Nasional Tahun 2020.
                                                           265
   261   262   263   264   265   266   267   268   269   270   271