Page 281 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 15 MARET 2021
P. 281
mencapai Rp 22,308 triliun. Tetapi ketika IHSG di level 6.429 (20 Januari 2021),
unrealized loss -nya menurun menjadi Rp 14,417 triliun atau 2,91% dari total portofolio
Rp 495 triliun, yang mayoritas disebabkan penurunan kinerja emiten BUMN.
"Naik turun akan terjadi sesuai dengan pergerakan harga saham," terangnya.
Bahkan, menurut Roy, bukan tak mungkin ketika IHSG di level 7.000, unrealized loss
bisa berbalik arah menjadi unrealized gain (keuntungan yang belum terwujud). Hal ini
bisa dilihat naik turunnya potensial loss itu sangat bergantung pada pergerakan IHSG.
Dia mengungkapkan, ada banyak faktor yang menyebabkan naik turunnya harga saham.
"Namun yang paling penting sahamnya likuid dan mempunyai kapitalisasi pasar yang
besar dan hal itu yang menjadi portofolio saham BP Jamsostek," katanya.
Sementara untuk portofolio reksadana, dari data yang ada, investasi di reksadana berada
pada level 8,1% pada akhir 2020. Kisarannya selama 5 tahun terakhir berada pada level
7%-9%.
"Prinsip diversifikasi telah dijalankan dan tetap memenuhi aturan yaitu maksimum 50%
dari total porsi dana, dan maksimum 15% untuk satu manager investasi. Proses dan
underlying produk reksadana ini jelas dan berbeda dengan yang terjadi di Jiwasraya,"
jelasnya.
Ada reksadana yang di dalamnya BP Jamsostek menjadi mayoritas dan investor tunggal.
Roy berpandangan, hal ini bisa terjadi jika ternyata pengelola dana telah menawarkan
reksadana secara penawaran umum dan tetap menghasilkan sedikit investor, atau
bahkan investor tunggal.
"Hal ini bisa jadi juga karena fee yang ditetapkan oleh BPJS-TK hanya 1%. Ini wajar saja
karena portofolionya besar. Sementara di pasar pada umumnya reksadana mengenakan
fee sebesar 2%-4%," ungkapnya.
Berbeda dengan Jiwasraya Dengan berbagai kajian tersebut, Roy melihat unrealized loss
yang terjadi di BP Jamsostek, berbeda dengan kerugian portofolio investasi pada kasus
Jiwasraya. Portofolio saham-saham Jiwasraya, termasuk golongan saham kualitas
rendah, tidak likuid, dan mempunyai kapitalisasi pasar yang kecil. "Banyak orang
menyebut saham-saham 'gorengan'," katanya.
Hal mendasar lainnya, seperti persyaratan pemilihan manager investasi. "Di BPJS-TK
sangat ketat, sementara di Jiwasraya longgar," katanya.
Lebih lanjut lagi ada perbedaan dari sisi alokasi aset. Misalnya, porsi saham dan
reksadana di Jiwasraya lebih dari 91% (31 Desember 2019). Sementara di BP Jamsostek
pada 31 Desember 2020 lalu hanya 23,56% untuk porsi saham dan reksadana. "Dari
data itu jelas terlihat bahwa strategi alokasi aset berbeda di antara keduanya," terang
Roy.
280