Page 9 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 31 AGUSTUS 2020
P. 9
Hanya, soal formulasi kenaikan upah akan diatur lebih lanjut. Bisa jadi kembali mengacu kepada
PP 78/2015 tentang Pengupahan yang menetapkan kenaikan upah berdasarkan tingkat
pertumbuhan ekonomi dan inflasi daerah. Sementara dalam draf RUU Ciptaker, formulasi
kenaikan upah tahunan hanya berdasar laju inflasi.
Selain skema pengupahan, perbaikan draf banyak memasukkan klausul-klausul baru seiring
meningkatnya otomatisasi, pemanfaatan artificial intelligence (Al), internet of things (IoT), dan
big data. Pengaturan ini dinilai penting untuk melindungi hak-hak tenaga kerja di era digitalisasi.
"Seluruh masukan dari tim tripartit ini akan dipergunakan sebagai rumusan penyempuna-an dari
draf awal yang telah disampaikan ke DPR," kata Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah.
Namun, polemik nampaknya tidak akan berakhir. Pasalnya, beberapa poin penting lain, seperti
pekerja kontrak, waktu libur, dan pesangon nampaknya tidak banyak berubah dari draf awal.
Padahal, isu-isu seputar itulah yang banyak memantik protes keras buruh selama ini.
Mengenai waktu istirahat, misalnya, RUU Cipta Kerja menghapus libur mingguan selama dua hari
untuk lima hari kerja. Pada Pasal 79 Ayat (2) poin b RUU itu menyebut, bahwa istirahat mingguan
adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu. RUU ini juga menghapus pula cuti
panjang dua bulan per enam tahun.
Calon beleid ini mengubah pula ketentuan jangka waktu untuk perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) atau pekerja kontrak. Melalui Pasal 56 ayat (3), RUU Cipta Kerja mengatur bahwa jangka
waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu ditentukan berdasarkan kesepakatan para pihak.
RUU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan Pasal 59 UU Ketenagakerjaan yang mengatur
pembatasan jenis pekerjaan dan jangka waktu yang bisa diikat dengan kontrak kerja.
Rancangan lain yang banyak diprotes adalah Pasal 61 yang salah satunya mengatur bahwa
perjanjian kerja berakhir pada saat pekerjaan selesai. Klausul ini sebelumnya tidak dimuat dalam
UU Ketenagakerjaan.
Ketentuan ini membuat pekerja rentan di-PHK karena pengusaha dapat menentukan sepihak
kapan pekerjaan berakhir. Memang, Pasal 61A, menambahkan ketentuan pengusaha wajib
memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir karena berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja dan selesainya pekerjaan.
Namun, dengan skema kontrak, karyawan bisa saja diputus kontraknya secara ti-ba-tiba tanpa
mendapat pesangon. "Bisa ssya perusahaan kontrak pendek-pendek untuk menghindari
pemberian kompensasi," kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat
Pekerja Indonesia (KSPI), Kahar S. Cahyono.
Saat dikonfirmasi beberapa isu penting itu, Ristadi berdalih masih dibahas. "Masih dibahas tim
teknis untuk mencari jalan tengah," ucapnya.
Melihat gelagat yang tidak beres inilah KSPI tetap gencar menggelar aksi demonstrasi, kendati
sudah berada di tim perumus DPR. Selasa siang, 25 Agustus 2020, misalnya, ribuan buruh yang
tergabung dalam berbagai elemen serikat, pekerja yang dikomandoi KSPI menggeruduk Gedung
DPR dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Tidak hanya di Jakarta, aksi kelompok buruh menolak Orn-nibus Law RUU Cipta Kerja juga
dilakukan secara serentak di sejumlah daerah. Mereka datang dengan berbagai atribut mulai dari
poster, spanduk, hingga bendera. "Cabut dan Batalkan Pembahasan Omnibus Law RUU Cipta
Kerja," demikian salah satu tulisan poster yang dibawa para buruh.
8