Page 196 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 30 SEPTEMBER 2020
P. 196

RUU CIPTAKER KLASTER KETENAGAKERJAAN, INI POIN-POIN YANG ALOT
              DIBAHAS
              , JAKARTA - Tuntasnya pembahasan poin-poin krusial dalam klaster ketenagakerjaan RUU Cipta
              Kerja (Ciptaker) bertepatan dengan waktu pengesahan regulasi ini yang tinggal menghitung hari.

              Sejumlah poin-poin krusial yang mendapatkan pertentangan baik dari DPR maupun pemerintah
              antara lain mengenai pekerja alih daya, upah minimum, dan pesangon PHK.

              Namun, secara umum, substansi perubahan UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 terdiri dari
              7  poin  yakni  waktu  kerja,  tenaga  kerja  asing,  pekerja  kontrak,  alih  daya  (outsurcing),  upah
              minimum, pesangon PHK, dan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

              Pemerintah  bersikukuh  untuk  mempertahankan  substansi  perubahan  RUU  Ciptaker,  salah
              satunya dengan meniadakan formulasi penghitungan upah minimum berdasarkan pertumbuhan
              ekonomi  nasional  dan  inflasi  sesuai  Peraturan  Pemerintah  No.78  Tahun  2015  tentang
              Pengupahan.

              "Peraturan  upah  minimum  tidak  bisa  diterapkan  pada  usaha  mikro  kecil.  Kenaikan  upah
              minumum menggunakan inflasi dan pertumbuhan ekonomi nasional seperti di PP 75 [membuat]
              kesenjangan  upah  minimum.  Ke  depan  ingin  ada  perubahan,  upah  minimum  tidak  dapat
              ditangguhkan,"  kata Staf Ahli  Bidang Regulasi,  Penegakan  Hukum, dan Ketahanan Ekonomi,
              Kemenko Perekonomian, Elen Setiadi, dikutip dari facebook Badan Legislatif, Selasa (29/9/2020).

              Sebagai gantinya, ia menginginkan formulasi perhitungan berdasarkan pertumbuhan ekonomi
              daerah dan produktivitas.

              Poin selanjutnya adalah pembayaran pesangon PHK. Jika sebelumnya pengusaha diharuskan
              membayar  pesangon  sebanyak  32  kali  upah,  pemerintah  mengusulkan  adanya  penyesuaian
              penghitungan dan menambah Program JKP.

              "Persoalan  pesangon  PHK  sebanyak  23  kali  sangat  memberatkan  pelaku  usaha,  mengurangi
              minat investor untuk berinvestasi," tekannya.

              Dia pun mengutip survei Kementerian Ketenagakerjaan bersama World Bank pada 2010 terkait
              pembayaran pesangon. Adapun, 66 persen pengusaha masih tidak patuh sehingga karyawan
              sama sekali tidak menerima pesangon.

              Selanjutnya, 27 persen masih patuh parsial sehingga karyawan menerima hak pesangon lebih
              kecil  daripada  ketentuan.  Sebaliknya,  hanya  7  persen  pengusaha  yang  patuh    "Jadi  dengan
              pengaturan seperti ini implementasinya tidak sama. Kita mengangap masih ada ketidakpastian
              dalam penerapan pesangon," jelasnya.

              Namun, setelah adanya perundingan, sejumlah poin-poin yang diusulkan mengalami perubahan.

              Salah  satu  poin  yang  disepakati  adalah  terkait  pesangon  yang  akhirnya  disetujui  tetap  ada
              dengan jumlah 32 kali gaji. Rinciannya adalah sebanyak 23 kali ditanggung oleh pemberi kerja
              atau pengusaha dan sisanya 9 kali ditanggung oleh JKP.

              "Ini seperti Undang-undang  existing  atau yang berlaku sekarang. Pesangon tetap 32 kali gaji,"
              kata  Anggota  Badan  Legislasi  (Baleg)  DPR  Firman  Soebagyo,  dikutip  dari  Antara,  Senin
              (28/9/2020).

              Dalam kesempatan terpisah, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan poin lainnya
              yang juga disetujui adalah penetapan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang dijalankan
              dengan kriteria tertentu.


                                                           195
   191   192   193   194   195   196   197   198   199   200   201