Page 5 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 27 OKTOBER 2020
P. 5
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko memastikan bahwa Pemerintah memperhatikan seluruh
aspirasi masyarakat termasuk mahasiswa dalam hal Undang-Undang Cipta Kerja. Menurutnya,
UU Cipta Kerja yang baru disahkan memiliki tujuan membawa rakyat Indonesia lebih baik.
Reformasi regulasi memang tidak pernah mudah.
JOKOWI SUDAH JAUH DARI RAKYAT
Pemerintahan Joko Wido-do-Ma'ruf Amin tengah digoncang demonstrasi menentang
disahkannya UU Cipta Kerja (Omnibus Law). Beberapa kali demo besar terjadi meminta
sejumlah pasal dianulir dan UU Omnibus Law dibatalkan.
Sejumlah pihak menilai, gonjang-ganjing penolakan UU Ciptaker merupakan buntut dari
kurangnya sosialisasi dari pemerintah terkait pasal-pasal yang ada. Bahkan, hingga saat ini
belum ada draft UU Ciptaker yang di-publish ke masyarakat.
Pengamat Komunikasi Politik Jamil Ritongga menyayangkan adanya pergeseran gaya
komunikasi politik Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Hal tersebut membuat orang nomor
satu di negeri ini semakin jauh dari rakyat.
Jokowi dinilai kurang menangkap informasi langsung dari bawah. "Dulu awal memimpin,
Presiden Jokowi sangat baik, lebih persuasif dengan mengedepankan empati kepada rakyat. Dia
banyak melakukan blusukan ke bawah untuk mendengar permasalahan-permasalahan dari
masyarakat. Tapi sekarang itu sudah tidak dilakukan lagi," ujar Jamil Ritongga kepada
INDOPOS, Senin (26/10).
Dia menyebut, empati Presiden Jokowi kepada masyarakat kian luntur. Sikap itu tampak, ketika
Jokowi menjawab keluhan masyarakat terkait UU Cipta Kerja l
Masyarakat yang menginginkan Perppu, hanya mendapatkan jawaban judicial review di
mahkamah konstitusional (MK). "Contoh konkretnya saat rakyat minta Jokowi mengeluarkan
Perppu, Jokowi dengan entengnya menjawab "Silakan saja pergi ke MK"," ulasnya.
Padahal, menurut Jamil, gaya komunikasi yang persuasif dengan memperhatikan aspek empati
lebih bisa diterima masyarakat. Pergeseran gaya komunikasi Jokowi lainnya, lanjutnya, terlihat
seakan lebih mementingkan golongan atas (top down).
Padahal, komunikasi top down tidak sesuai dengan alam demokrasi. "Semestinya lebih banyak
mendengar ke bawah bukan memaksakan dengan sosialisasi apa yang pemerintah inginkan.
Pendekatan top down ini banyak dilakukan di negara tertutup seperti negara komunis misalnya,"
bebernya.
Dia juga menyebut, seharusnya, pemerintah harus mendengarkan banyak masukan dari
stakeholder. Pun demikian saat sosialisasi, seharusnya melibatkan ormas-ormas besar yang
sudah dikenal masyarakat. Sebut saja NU dan Muhammadiyah.
Sayangnya, Terbukti dua ormas besar NU dan Muhammadiyah tidak dilibatkan dalam
pembahasan rancangan undang-undang (RUU) Cipta Kerja. "Pemerintah hanya melibatkan
asosiasi buruh yang berpihak pemerintah," sindirnya.
Dengan gaya komunikasi politik saat ini, dia khawatir, Presiden Jokowi tidak mendapatkan
informasi yang sebenarnya di lapangan. Namun hanya bergantung dari orang-orang di
sekelilingnya.
"Kepemimpinan Jokowi itu masih lama, kalau gaya komunikasi ini tetap diterapkan akan
menyulitkan Jokowi sendiri," imbuhnya.
4