Page 27 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 26 FEBRUARI 2021
P. 27
Harapan ke pelaku usaha itu karena belanja pemerintah, kata Presiden, hanya mampu
membiayai program padat karya dan lapangan kerja dalam jangka pendek. Sedangkan sektor
swasta dinilai mampu menciptakan lapangan kerja dalam jangka waktu lebih panjang.
Perluasan itu, jelas Kepala Negara, bisa dengan menghidupkan kembali usaha-usaha yang sudah
berjalan maupun merintis usaha-usaha baru, baik dengan dana sendiri, pendanaan dari bank,
nonbank, maupun mengundang investor dari luar negeri.
Jokowi pun berharap agar upaya sektor swasta membangun usaha mendapat dukungan
pembiayaan dari perbankan. Dalam pengucuran kredit, diharapkan bank tetap mengedepankan
prinsip kehati-hatian serta tetap menjaga tingkat kesehatan bank.
"Saya senang memperoleh laporan rasio kewajiban penyediaan modal minimum 23,78 persen,
dan bank telah menyiapkan cadangan yang memadai jika ada peningkatan kredit berisiko," kata
Presiden.
Menaggapi pernyataan Presiden, Pakar Ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono
Hardjopranoto, sepakat bahwa perluasan lapangan kerja dalam jangka panjang lebih
menitikberatkan peran pelaku usaha. Kendati demikian, dukungan pemerintah diharapkan
dengan menciptakan iklim investasi yang kondusif, sekaligus mendorong penyiapan sumber daya
manusia (SDM) melalui program pendidikan vokasi.
"Ini menunjukkan harapan bahwa investasi yang ditanam berupa usaha yang dapat menyerap
tenaga kerja, bukan portofolio," kata Wibisono.
Menurut dia, sektor swasta memang menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang lebih besar,
berbeda dengan pemerintah, hanya dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dan karyawan BUMN.
"Pemerintah hanya menyantuni dalam bentuk program padat karya untuk tenaga yang unskill
(tanpa keahlian), agar mereka tidak tersingkir karena hukum pasar, dan mencegah kemiskinan
ekstrem," kata Wibisono.
Tidak Memenuhi
Kesempatan kerja, katanya, sebenarnya tumbuh sangat pesat, tetapi ada pergeseran kebutuhan
soal skill, sehingga banyak yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar kerja. Untuk itu,
pemerintah diharapkan mendorong regulasi dan iklim pendidikan vokasi yang lebih luas untuk
mengatasi persoalan tersebut.
"Tanpa kesiapan SDM, jangan mimpi kita bisa menjadi negara nomor empat pada 2045,"
katanya.
Selain itu, pemerintah juga harus mengawasi persaingan swasta agar lebih sehat sehingga
memunculkan pebisnis atau entrepreneur yang benar-benar andal. Bukan yang memanfaatkan
celah regulasi atau upaya-upaya melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) untuk
melanggengkan bisnisnya.
Berkaitan dengan tenaga kerja, Chief Economist CIMB Niaga, Adrian Panggabean mengatakan
jika belajar dari episode krisis moneter pada 1998 dan krisis di negara-negara lain, pekerja yang
terlalu lama dirumahkan akan cenderung kesulitan memperoleh kembali pekerjaannya. Pola
tersebut berpotensi terulang pada 2022, terlebih saat bisnis semakin mengarah kepada moda
digital atau bahkan penggunaan artificial intelligence yang lebih marak. SB/E-9
26