Page 91 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 2 NOVEMBER 2020
P. 91
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyebut kebijakan itu sebagai jalan tengah
atas kepentingan buruh dan pengusaha di tengah situasi yang tidak mudah. Perlindungan
pengupahan dijaga. Demikian pula keberlangsungan usaha.
Pada saat yang sama, Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pemerintah dan
DPR meniadakan komponen kebutuhan hidup layak dalam perhitungan upah minimum,
menghapus upah minimum sektoral, serta mengatur perhitungan upah berdasarkan satuan
waktu tanpa merinci batasan jenis pekerjaan yang bisa dibayar per jam
Situasi itu menuai pro dan kontra. Pengupahan dinilai bukan faktor penentu yang akan menarik
perhatian investor untuk membuka usaha di Indonesia. Upah murah dan minimnya perlindungan
hak pekerja justru berpotensi menurunkan produktivitas dan mengganggu iklim investasi.
Peneliti Institute for Deve-lopment on Economics and Fi-nance (Indef) Ahmad Heri Firdaus,
Minggu (1/11/2020), menyatakan, memang ada pandangan investor asing yang menilai aturan
pengupahan di Indonesia terlalu ketat dan mahal. Namun, upah murah bukan faktor penentu
daya tarik investasi. Investor lebih membutuhkan kepastian regulasi serta birokrasi yang efisien
dibandingkan buruh yang bisa diupah murah, tetapi tanpa jaminan produktivitas.
Survei Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 2017-2018 menempatkan korupsi, birokrasi
pemerintahan yang inefisien, akses pembiayaan, infrastruktur yang tidak memadai, dan
instabilitas kebijakan sebagai faktor utama penghambat investasi di Indonesia. Faktor
ketenagakerjaan, seperti etika kerja yang buruk, kapasitas SDM yang minim, serta regulasi yang
restriktif, bukan faktor utama penghalau investor.
Peneliti Ketenagakerjaan dari Pusat Penelitian Kependu-dukan Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia Triyono mengatakan, relaksasi aturan upah minimum belum tentu akan menarik
investasi. Alih-alih menekan upah pekerja, pemerintah seharusnya memperhatikan faktor lain
yang lebih memengaruhi iklim investasi, yakni kapasitas dan kualitas SDM yang rendah.
Ia meyakini, jika peningkatan kapasitas pekerja diiringi pemenuhan hak dan perlindungan seperti
upah layak, produktivitas pun akan naik. "Upah semurah apa pun, jika kapasitas SDM tidak
memenuhi kebutuhan pasar, investor tidak akan tertarik," ujarnya.
Ketua Departemen Buruh Perempuan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia Dian Septi
mengatakan, produktivitas buruh dituntut tinggi, tetapi di sisi lain kondisi kerja dan tingkat
kesejahteraan buruh masih jauh dari memadai. Masih banyak ditemukan pekerja dibayar dengan
upah di bawah standar minimum meski jam kerjanya tinggi dan perlindungan sosial minim.
Data Survei Angkatan Kerja Nasional 2019 (Sakernas 2019) menunjukkan, mayoritas pekerja di
Indonesia menerima upah di bawah standar minimum. Di DKI Jakarta, pada 2019 ada 51 persen
pekerja yang menerima upah di bawah upah minimum provinsi. Di Surabaya dan sekitarnya,
porsi yang tidak digaji sesuai standar minimum bahkan mencapai 60 persen pekerja.
Selain upah, perlindungan dan jaminan sosial untuk pekerja juga kerap tidak dipenuhi. BP
Jamsostek mencatat, per Juli 2020, tenaga kerja yang memiliki jaminan perlindungan sosial baru
53 persen atau 49,7 juta orang dari total 92,4 juta tenaga kerja yang seharusnya menjadi peserta
BP Jamsostek.
"Pemerintah jangan terus menjadikan kami tumbal investasi. Kalau takut investor pergi, jangan
korupsi, perkuat pemberantasan korupsi, bukan justru melemahkannya. Jangan sedikit-sedikit
yang disalahkan kaum pekerja," katanya.
Hanya panduan
90