Page 35 - e-KLIPING KETENAGAKERJAAN 13 OKTOBER 2020
P. 35

kondisi  tertentu,  seperti  disebutkan  pada  Pasal  154A.  Selanjutnya,  pada  draf  812  halaman,
              kondisi-kondisi tertentu itu dihapus sehingga bunyi pasal kembali seperti pada draf 905 halaman.
              12 halaman, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Golkar Azis Syam-suddin mengatakan, dirinya belum
              mengetahui hal itu. "Coba cek di kesekjenan," ujarnya.

              Sementara Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengonfirmasi draf UU itu
              1.035 halaman, Senin siang. "Halamannya betul, tetapi isinya saya mesti lihat dulu," katanya.

              Anggota  Baleg  DPR  dari  Golkar,  Firman  Soebagyo,  meminta  publik  bersabar.  "DPR  memiliki
              waktu tujuh hari untuk melihat kembali dari sisi penyusunan. Jangan sampai ada typo (salah
              ketik) atau ada bahasa asing," katanya.

              Namun, Firman menegaskan tidak boleh ada perubahan substansi karena telah disepakati dalam
              rapat paripurna. "Perbaikan tidak mengubah substansi. Tidak boleh mengurangi dan menambah
              substansi," ujarnya.

              Sebaliknya,  Sekretaris  Jenderal  Kementerian  Ketenaga-kerjaan  Anwar  Sanusi  mengonfirmasi
              telah ada perubahan bunyi pasal setelah RUU disetujui untuk disahkan.

              Tim  dari  Kemenaker,  menurut  dia,  dilibatkan  dalam  proses  merapikan  redaksional  draf  UU
              dengan DPR setelah RUU itu disetujui untuk disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna.

              Soal pasal pesangon, sebagai contoh, perubahan agar tidak merugikan pihak mana pun atau
              sebagai jalan tengah.

              "Mungkin begini, jangan sampai (pemilihan kata) itu terlalu mengunci. Kalau kita membatasi
              paling banyak, tentu ada yang dirugikan. Kalau kita membatasi paling sedikit, juga ada yang
              dirugikan. Jadi, ya, sudah kita buat kalimat yang tidak usah menggunakan kata-kata itu," ujar
              Anwar.

              Ketentuan tentang pesangon dalam RUU Cipta Kerja menjadi hal yang diprotes buruh. Pasalnya,
              pesangon  itu  lebih  rendah  daripada  yang  diatur  dalam  UU  Nomor  13  Tahun  2003  tentang
              Ketenagakerjaan.

              Cacat formil

              Berubah-ubahnya draf UU Cipta Kerja serta tidak adanya kepastian draf ini dinilai menyalahi
              ketentuan dan berpotensi cacat formil ketika diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK).

              "Paripurna  adalah  institusi  tertinggi  pengambilan  keputusan  dalam  penyusunan  UU.  Artinya,
              ketika RUU sudah diketok, tak ada lagi pembahasan apa pun terhadap RUU itu, apalagi ada
              perubahan substansi. Kalau itu terjadi, artinya makna paripurna sebagai pengambilan putusan
              akhir gugur," kata Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan
              Yusuf.

              Perbaikan tanda baca dan tata bahasa, apalagi substansi, semestinya sudah tuntas sebelum
              rapat paripurna. Perubahan substansi, lanjut Asep, menimbulkan ketidakpastian hukum dan itu
              mengabaikan tata cara perundang-undangan yang baik.

              Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas, Charles Simabura, menilai, dugaan perubahan
              yang terus terjadi melanggar asas konstitusionalisme. "Semestinya tidak boleh berubah seusai
              rapat paripurna. Penambahan dan pengurangan substansi itu tugas DPR dan pemerintah. Kok,
              ini dilakukan tertutup oleh Baleg dan tim tertentu?" tanyanya.

              Dengan  berubah-ubahnya  draf  UU  Cipta  Kerja,  wajar  jika  publik  mempertanyakan  draf  UU
              sebenarnya yang disahkan dalam rapat paripurna. "Ini berpotensi cacat formil dan bukan naskah
                                                           34
   30   31   32   33   34   35   36   37   38   39   40