Page 51 - E-BOOK SEJARAH DAN BUDAYA INDONESIA
P. 51
Uniknya lagi, marsiadapari ini dilakukan dengan penuh tanggungjawab bahwa pekerjaan
itu dianggap sebagai miliknya, sehingga hasilnya akan lebih baik. Sehingga kegiatan marsiadapari
menjadi catatan penting untuk diwariskan bagi kaum muda saat ini.
Namun, harus kita akui secara jujur, pelaksanaan marsiadapari itu tidak lagi seperti dulu
hampir di setiap bidang kehidupan. Itu semua karena zaman yang berubah.
Misalnya, marsiadapari di ladang sudah sangat berkurang karena adanya traktor atau jetor
serta mesin panen rontok padi dan tenaga kerja yang melimpah dengan upah lebih murah. Begitu
juga misalnya membangun rumah, sudah lebih ekonomis diborongkan kepada tukang.
Tetapi, pada kegiatan pesta adat, apapun jenis adatnya prinsip marsiadapari itu masih
dilaksanakan dengan teguh. Apalagi di desa masih kental kalipun, jika ada acara adat perkawinan
(mangoli) atau kematian (monding), marhobas (mempersiapkan acara/ pesta), dengan semangat
marsiadapari, kawan sekampung (dongan sahuta) akan ramai (renta) melakukannya.
Di beberapa desa tertentu di Bona Pasogit bahkan masih menjalankan boras liat (beras
sumbangan bergilir) atau indahan liat (sumbangan nasi yang masak bergilir) untuk disumbangkan
kepada tuan rumah pesta. Juga sijula-jula (arisan bergilir berupa uang, beras dan daging) kepada
pemilik pesta.
Bentuk lain marsiadapari adalah ‘manumpahi’ atau memberi bantuan baik berupa uang
atau beras (si pir ni tondi) yang meringankan beban yang melaksankan adat. Meski si penerima
akan menganggap itu utang, namun si pemberi tidak selalu menganggap itu piutang (singir).
Pada kumpulan marga, marsiadapari dalam kalangan sedarah (samudar) masih kentara
kalilah. Jika ada beban atau masaalah seseorang dalam klan semarga, apalagi yang mempengaruhi
martabat marga, maka otomatis semangat kebersamaan dan marsiadapari akan muncul. Melangkah
bersama dan saling menopang serta menanggung resiko bersama (Mangangkat rap tu ginjang,
manimbung rap tu toru jala rap udur di angka na masa).
Kepercayaan Suku Batak
Saat ini, mayoritas Suku Batak memeluk agama Kristen Protestan. Namun jauh sebelum
mereka mengenal agama ini, orang-orang Batak menganut sistem kepercayaan tradisional. Mereka
memiliki sosok yang dianggap sebagai dewa tertinggi, bernama Mulajadi na Bolon.
Dari kepercayaan tersebut, kemudian dikenal 3 konsep, yaitu:
1. Tendi
Tendi atau disebut dengan Tondi adalah roh atau jiwa seseorang bermakna kekuatan. Tendi
memberi kekuatan pada manusia dan telah dimiliki seseorang sejak di dalam kandungan sang ibu.
Jika Tendi meninggalkan tubuh seseorang, maka orang tersebut akan meninggal. Saat itulah harus
diadakan upacara untuk menjemput Tendi atau upacara adat menjemput jiwa.
50