Page 78 - E-MODUL PENULISAN KARYA ILMIAH (PKI)
P. 78
Di sisi lain, kalau kita tengok kemajuan suatu bangsa tidak bisa lepas dari guru.
Para ahli sepakat dengan hal tersebut. Banyak pakar menyatakan bahwa guru
merupakan agen perubahan (agen of change), guru merupakan sosok yang sangat
penting dan tidak tergantikan perannya, dan guru merupakan ujuk tombak
keberhasilan sistem pendidikan. Menyimak pernyataan tersebut, guru merupakan
center kemajuan bagi sebuah bangsa. Jika demikian halnya, maka pertanyaannya
mengapa bangsa kita, sejak berpuluh-puluh tahun lamanya guru masih dikebiri?
Sesungguhnya, bila kita cermati guru di Indonesia lebih pintar-pintar kalau kita
bandingkan dengan Negara Malaisya. Pertanyaannya sekarang, kenapa pendidikan
di sana jauh maju pesat, karena saat mengajar dalam benaknya tidak punya pikiran
aduh gimana besok, sehingga mereka benar-benar bekerja keras untuk pendidikan.
Kita harus jujur mengakui bahwa kualitas guru sebetulnya sangat dipengaruhi oleh
kondisi sosial guru. Guru akan bisa bekerja optimal (konsentrasi), bila kebutuhan
dasarnya sudah terpenuhi. Hal ini sejalan dengan hirarki kebutuhan yang
disampaikan oleh Abraham Maslow, menyatakan bahwa kebutuhan manusia
(termasuk guru) dimulai tingkatan yang paling rendah (bersifat dasar/fisiologis)
sampai yang paling tinggi (aktualisasi diri). Hal tersebut telah disadari oleh berbagai
kalangan, termasuk pemerintah. Namun, entah pura-pura tidak tahu, atau tidak
peduli, sehingga sampai saat ini kehidupan guru masih dikebiri seperti yang terdapat
dalam lirik lagu Iwan Fals “….Oemar Bakri…Oemar bakri… banyak ciptakan
menteri. Profesor, dokter, insinyur pun jadi, tapi mengapa gaji guru Oemar Bakri
seperti dikebiri”. Kini saatnya guru berbicara. Guru tidak hanya cukup dihibur seperti
dalam lirik lagu Himne Guru. Tetapi, jika memang benar kita sepakat menginginkan
kualitas pendidikan yang baik, kemajuan bangsa, maka saatnya sekarang
memberikan “pahlawan pendidikan” kepada guru di Indonesia serta menjamin
kesejahteraan bagi mereka tanpa syarat apapun.
Semenjak reformasi bergulir, mulai ada wacana dan upaya memperhatikan
nasib guru. Inipun masih lebih banyak wacananya dibandingkan realisasinya.
Anggaran pendidikan 20% seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar
1945, mulai juga dikebiri. Anggaran tersebut yang mestinya diperuntukkan untuk
pendidikan diluar gaji guru, namun beberapa daerah mempolitisir, gaji guru
termasuk dalam anggranan tersebut.
Demikian juga halnya Undang-Undang Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
yang diharapkan mampu memberikan harapan baru. Namun, sampai saat ini hal
tersebut masih banyak dikebiri juga. Sebut saja, masalah terkait dengan sertifikasi
guru, masih banyak mereka yang dinyatakan lulus sertifikasi yang belum
mendapatkan tunjangan yang menjadi haknya.
Pada sisi lain, kita juga dapat melihat kondisi yang kontradiktif. Kini, adanya
rencana dari pemerintah untuk memberikan kesempatan kepada 40.000 lulusan
sarjana murni untuk mengikuti program pendidikan profesi, sehingga nantinya
mereka bisa menjadi guru. Pemeritah, beralasan sarjana murni akan memiliki
kemampuan keilmuan yang lebih baik dibandingkan dengan lulusan LPTK karena
mereka belajar keilmuan lebih lama. Pemerintah, barangkali berasumsi jebloknya
kualitas pendidikan saat ini disebabkan oleh karena guru-gurunya tidak memiliki
74