Page 33 - Tokoh Pemikir Karakter Bangsa
P. 33

TOKOH PEMIKIR KARAKTER BANGSA




                sejarah  Islam,      Natsir    tampil  sebagai  seorang    pemikir  Islam
                (kemudian  juga  terlibat  dalam  politik)  ketika    Tjokroaminoto  telah
                berpulang. Natsir tampil ketika perdebatan “Islam dan nasionalisme”
                sedang hangat dan di saat masalah hubungan “Islam dan sosialisme”,
                sebagaimana  yang  pernah  dialami    oleh  Tjokroaminoto,  telah
                mengendur  akibat  “peristiwa  pemberontakan  PKI  1926/1927”.
                Sebagaimana selalu dikatakannya, Natsir menganggap dirinya sebagai
                salah  seorang  murid  Haji  Agus  Salim.  Bukankah  Haji  Agus  Salim
                pelopor dari pembentukan (1925)  Jong Islemieten Bond—organisasi
                Islam dari mereka yang mendapat pendidikan  Barat?

                        Dalam  dunia  pendidikan  praktis  tidak  terjadi  “perdebatan”,
                meskipun  terdapat  pendekatan  yang  berbeda-beda.  Ketiganya  –  Ki
                Hadjar, Rahmah, dan Syafei—saling menghargai. Kalau Ki Hadjar ingin
                memperkenalkan  sistem  “nasional”  dengan    isi  pendidikan  yang
                bertolak  dari  pengalaman  dan  kearifan  tradisi  dalam  mengharungi
                zaman  modern,  maka  Sjafei  lebih  bertolak  dari  kemampuan  anak
                didik  mempergunakan  “akal,  perasaan,  dan  tangan”.  Maka  bisalah
                dipahami juga mengapa tamatan sekolah INS Kayutanam umumnya
                bisa  memainkan  satu-dua  alat  musik  (paling  biasa  gitar  dan  biola)
                bertukang,  di  samping  memperlihatkan  diri  sebagai  seorang
                terpelajar. Sedangkan Rahmah yang terpengaruh oleh aliran “kaum
                muda Islam “  atau biasa juga disebut modernisme Islam, membuka
                sekolah “umum berlandaskan Islam” bagi para gadis remaja. Ternyata
                yang  datang  bersekolah  ke  Dinyah  Putri  (di  kota  Padang  Panjang)
                bukan  saja  para  gadis  Minangkabau,  tetapi  juga  dari  mereka  yang
                datang  dari  Jawa  dan  bahkan  dari  Tanah  Semenanjung  Malaya.
                Sekarang  tingkatan  Diniyah  Putri  tidak  lagi  sampai  tingkat  sekolah
                menangah saja,tetapi telah sampai perguruan tinggi.
                        Meskipun  Soedjatmoko  telah  mulai  dikenal  masyarakat
                sebagai seorang intelektual-pemikir sejak tahun 1950-an dan Widjojo
                Nitisastro telah memperlihatkan diri sebagai ahli demografi Indonesia
                yang cemerlang sejak awal 1960-an tetapi pemikiran mereka–seperti
                juga halnya dengan Moebyarto--semakin diperhitungkan ketika Orde
                Baru  telah  mereka  telah  langsung  terlibat  dalam  perdebatan  dan




                                                                                  23
   28   29   30   31   32   33   34   35   36   37   38