Page 103 - Tere Liye - Bumi
P. 103
TereLiye “Bumi” 100
APANGAN sekolah dipenuhi anakanak yang baru saja keluar
dari kelas, hendak pulang. Juga lorong kelas dan anak tangga. Suara
mereka bagaikan dengung lebah mengisi langitlangit. Sementara itu, di
langit sesungguhnya, gumpalan awan tebal mengisi setiap pojokan.
Musim hujan, pemandangan biasa. Aku bergegas mengejar Ali di antara
keramaian, sedikit menyikut teman yang lain.
”Hei! Tunggu sebentar!” aku meneriaki Ali. Kerumunan anak yang
hendak menuruni anak tangga membuatku terhambat.
”Hei, Ali! Tunggu!” aku meneriakkan namanya.
Ali menoleh sekilas, tidak tertarik melihatku mengejarnya, tetap
berjalan santai.
Aku berhasil mengejarnya, menutup jalan di depannya. ”Nih, hadiah
buatmu.” Aku nyengir, menyerahkan bolpoin biru.
Demi menatap bolpoin biru yang kusodorkan ke depan wajahnya,
si genius itu termangu. Tebakanku tadi saat mengerjakan ulangan
bahasa Inggris benar, kuranglebih beginilah ekspresi khas orang
tertangkap tangan. Benda ini memang milik si biang kerok ini.
”Brilian sekali, kamu memataimataiku selama ini. Tapi lain kali
jangan gunakan bolpoin bodoh seperti ini, gampang ketahuan. Lakukan
dengan lebih cerdas.” Aku sengaja meniru intonasi dan cara bicara Miss
Keriting satusatunya guru yang cuek mengusir si genius ini.
Ali menelan ludah, raguragu menerima bolpoin itu. Dia
cengengesan. Sepertinya itu ekspresi terbaik rasa bersalah yang dia
miliki.
Aku menatapnya galak. ”Nah, sebaiknya kamu tahu, rumahku
bukan laboratorium fisika tempat kamu bebas bereksperimen,
meledakkan apalah, menyelidiki entahlah. Sore ini aku akan memeriksa
http://pustaka-indo.blogspot.com