Page 100 - Tere Liye - Bumi
P. 100

TereLiye “Bumi”   97




                         Aku menelan ludah, bergegas mengalihkan percakapan, menatap

                  kasihan Seli. ”Entahlah. Aku tidak tahu. Nah, yang aku tahu persis, kamu
                  apes sekali, Sel.”

                         ”Apes apanya?”


                         ”Barusan Ali bilang, matamu jangan ditaruh di pantat, kan?”

                         Seli melotot sebal. Aku tertawa.


                         Setidaknya hingga  hampir pulang sekolah, aku (dan Seli) tidak
                  bermasalah dengan Ali. Anak lelaki itu masih sering mengamati­ku dari
                  bangkunya, tapi tidak tertarik memperhatikan jidatku yang sudah bersih
                  dari jerawat. Sepertinya anak cowok selalu begitu, tidak peduli dengan hal
                  baik dari anak cewek, sukanya memper­hati­­kan yang buruknya saja.

                         Pelajaran terakhir adalah bahasa Inggris. Mr. Theo me­nyuruh kami
                  mengeluarkan kertas ulangan. Aku meng­angguk riang. Aku menyukai
                  pelajaran bahasa, tidak masalah walau­pun ulang­an mendadak. Mr.
                  Theo membagikan soal, empat puluh soal isian.


                         Seli di sebelahku mengeluarkan puh pelan, mengeluh. Aku tertawa
                  dalam hati, padahal Seli selalu meng­aku fans berat Mr. Theo, ternyata itu


                  tidak cukup untuk membuatnya menyukai ulangan mendadak ini.

                         Yang jadi masalah adalah ketika bel pulang tinggal lima belas menit
                  lagi, Mr. Theo mengingatkan, ”Selesai­tidak selesai, kumpul­kan jawaban
                  kalian saat bel.”


                         Aku meringis.  Tinta bolpoinku habis. Aku bergegas meng­ambil
                  bolpoin cadangan di dalam tas. Ada dua bolpoin yang ku­keluarkan. Eh,
                  aku sedikit bi­ngung kenapa ada bolpoin ber­warna biru. Bukankah aku
                  tidak pernah punya bolpoin seperti ini? Mungkin bolpoin Papa yang tidak
                  sengaja kutemukan di mobil atau ruang tamu. Tapi tidak apalah, yang
                  penting bisa buat menulis. Aku memutuskan meng­gunakannya, tapi
                  tidak bisa, tintanya tidak keluar.

                         Aku menggerutu, kenapa aku menyimpan bolpoin ini di dalam tas
                  kalau tintanya habis. Aku hendak menukarnya dengan bolpoin cadangan
                  yang lain, tapi gerakanku terhenti. Ada yang aneh dengan bolpoin biru ini.





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   95   96   97   98   99   100   101   102   103   104   105