Page 95 - Tere Liye - Bumi
P. 95

TereLiye “Bumi”   92




                         ”Seperti biasa,  Pa,” aku menjawab pendek, menatap langit

                  mendung. Ribuan  burung layang­layang terbang memenuhi atas kota,
                  sepertinya selama ini aku mengabaikan pemandangan itu.

                         ”Kamu tidak punya sesuatu yang seru yang hendak kamu ceritakan
                  kepada Papa?” Papa menoleh, mengedipkan mata, timer  lampu merah
                  masih lama. ”Selain soal jerawat lho.”


                         ”Eh, tidak ada, Pa.” Aku menggeleng.

                         ”Sungguhan tidak ada?” Papa tetap antusias.


                         Aku menggeleng lagi. Aku tahu, Papa sedang mencari topik
                  pembicaraan, lantas memberikan nasihat yang menyambung de­ngan
                  topik itu, menasihati putrinya.

                         Papa kembali memperhatikan ke depan. Aku menatap jalanan dari
                  balik jendela. Teringat percakapan dengan sosok tinggi kurus tadi malam.
                  Itu benar, bertahun­tahun aku mampu me­nyimpan rahasia itu sendirian.
                  Tidak bocor sedikit pun, tidak tem­pias satu tetes pun. Aku tidak pernah
                  membicarakannya kepada Papa dan  Mama. Mereka dengan sendirinya
                  terbiasa, selalu punya penjelasan sederhana setiap melihat hal ganjil di
                  rumah kami. Aku yang tiba­tiba muncul. Aku yang tiba­tiba tidak ada di
                  sekitar mereka. Bahkan tentang kucingku, mereka selalu bilang si Hitam
                  atau si Putih, bukan si Hitam dan si Putih.


                         ”Papa minta maaf ya, Ra.”


                         ”Eh? Minta maaf apa, Pa?” Aku menoleh ke depan. Lampu merah
                  berikutnya.

                         ”Hari­hari ini Papa jadi jarang memperhatikan kamu, meng­ajak
                  ngobrol. Tidak ada makan malam bersama. Sarapan juga serba­cepat.
                  Papa cemas, kemungkinan Sabtu­Minggu lusa Papa juga harus lembur di
                  kantor. Rencana weekend kita batal.”


                         Aku mengangguk, soal itu ternyata. ”Tidak apa kok, Pa. Ra paham.
                  Kan demi memenangkan hati pemilik perusahaan.”

                         Papa ikut tertawa pelan. ”Kamu selalu saja pintar menjawab kalimat
                  Papa.”





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   90   91   92   93   94   95   96   97   98   99   100