Page 94 - Tere Liye - Bumi
P. 94

TereLiye “Bumi”   91




                  apa sih? Kita bisa  buka klinik khusus jerawat lho. Mahal bayarannya.

                  Nanti Mama suruh tantemu bantu cari modal. Dia relasinya kan luas.”

                         Aku tersenyum kecut menatap Mama—yang biasa berlebihan kalau
                  sedang semangat. Seandainya Mama tahu bahwa jerawatku memang
                  hilang begitu saja saat aku suruh meng­hilang, Mama mungkin akan
                  berteriak panik. Mama tidak pernah suka cerita horor, kejadian penuh
                  misteri, dan sejenis­nya.


                         ”Pagi, Ra, Ma.” Papa ikut bergabung, menyapa, menghentikan
                  kalimat rencana­rencana Mama tentang klinik jerawat. ”Ternyata Papa
                  terakhir yang bergabung ke meja makan. Padahal tadi Papa sudah mandi
                  ngebut sekali lho.”

                         Aku dan Mama menoleh. Papa sudah rapi.


                         ”Kalian sedang membicarakan apa?”

                         ”Jerawatnya Ra, Pa.” Mama tertawa.


                         ”Oh ya? Ra jerawatan lagi? Seberapa besar?” Papa ikut ter­tawa.

                         Sarapan segera berlangsung dengan trending topic jerawatku.


                         Sempat diseling Papa bertanya soal mesin cuci baru  yang diganti,
                  Mama bilang sejauh ini penggantinya tidak bermasalah. Mama juga
                  sempat bilang tentang rencana arisan keluarga minggu depan di rumah.
                  Papa diam sejenak, mengangguk. ”Semoga minggu depan Papa sudah
                  tidak terlalu sibuk lagi di kantor, Ma, jadi  bisa membantu.” Papa
                  melirikku sekilas. Aku tidak ikut berkomentar. Aku tahu, maksud kalimat
                  Papa sebenarnya adalah semoga masalah mesin pencacah raksasa di
                  pabrik sudah beres.


                         Lima belas menit sarapan usai, aku berpamitan pada Mama, duduk
                  rapi di kursi mobil di samping Papa. Papa mengemudikan mobil melewati
                  jalanan yang masih sepi. Baru pukul enam, itu berarti jangan­jangan aku
                  orang pertama lagi yang tiba di sekolah.

                         ”Bagaimana sekolahmu, Ra?” Papa  bertanya, di depan sedang
                  lampu merah.







                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   89   90   91   92   93   94   95   96   97   98   99