Page 104 - Tere Liye - Bumi
P. 104

TereLiye “Bumi”   101




                  seluruh rumah. Kamu pasti juga meletak­kan sesuatu setelah kemarin

                  jual muka kepada Mama dan Seli. Awas saja kalau aku menemukannya.”

                         Aku meninggalkan Ali yang entahlah  mau bilang apa. Aku segera
                  bergabung dengan kerumunan anak­anak yang hendak me­nuruni anak
                  tangga. Seli menunggu di lapangan. Kami selalu pulang bareng. Dia
                  bertanya kenapa aku lama sekali keluar dari kelas. Aku mengangkat
                  bahu, menunjuk langit mendung, lebih baik bergegas mencari angkutan
                  umum yang kosong.


                         ***

                         Setiba di rumah, Mama terlihat repot mengangkat jemuran. Gerimis
                  turun saat aku turun dari angkot. Mama menyuruhku memb­antu, aku
                  mengangguk.  Tanpa meletakkan tas sekolah, aku mem­bantu membawa
                  sebagian tumpukan pakaian, meletak­kan­nya di ruang  depan. Masih
                  lembap, Mama bilang biar di­jemur lagi di halaman belakang yang semi
                  tertutup.


                         ”Halo, Put,” aku menyapa kucingku yang riang menyambutku di
                  ruang tengah. Kepalanya menyundul­nyundul ke betis.  Bulu tebalnya
                  terasa hangat.

                         ”Kamu sudah makan siang?” aku bertanya.


                         Si Putih mengeong pelan, manja kuusap­usap kepalanya.


                         Aku teringat sesuatu, menoleh sekitar. Baru saja aku  bertanya
                  dalam hati, ke mana kucing satunya itu pergi sejak tadi pagi, si Hitam
                  justru terlihat berjalan pelan menuruni anak  tangga. Mata bundarnya
                  menatapku. Aku tidak tahu persis, apakah ka­rena kejadian tadi malam,
                  kali ini aku merasa si Hitam sedang  menatapku tajam,  bukan tatapan
                  antusias menyambutku pulang seperti enam tahun terakhir. Aku merasa
                  kucing itu tidak se­kadar kucing lagi. Dia mengawasiku. Dan lihatlah, si
                  Hitam duduk diam di anak tangga terakhir, kepalanya mendongak, tidak
                  meloncat menyambutku seperti biasanya.

                         ”Kamu lihat si Hitam di sana, Put?” aku berbisik pada ku­cing­ku.


                         Si Putih balas mengeong pelan.






                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   99   100   101   102   103   104   105   106   107   108   109