Page 128 - Tere Liye - Bumi
P. 128

TereLiye “Bumi”   125




                         Apa yang harus kulakukan? Napasku semakin tersengal.


                         Kami tidak akan  bisa melarikan diri dari tiang listrik ini. Tinggal
                  dua meter lagi tiang listrik besar itu menghantam kepala kami, tidak akan
                  cukup waktunya.


                         Tanganku gemetar. Aku tidak tahu apa yang menuntunku, lima
                  jemariku kalap teracung ke atas, dan aku menjerit kencang. ”Hilanglah!”

                         Seluruh tiang itu lenyap seketika.


                         Aku segera meringkuk di sebelah Seli  yang jatuh terduduk. Kami
                  berpelukan. Meskipun tiangnya sudah hilang, pecahan genteng dan
                  tembok yang telanjur terhantam tiang berjatuhan di sekitar kami, seperti
                  hujan batu. Kepulan debu memenuhi belakang sekolah.

                         Aku dan Seli terbatuk, menutup wajah. Seragam kami kotor. Wajah
                  kami cemong. Kotak bekalku terbanting. Isinya tumpah berserakan.
                  Setengah menit berlalu, debu masih berhamburan tinggi menutupi
                  sekitar, hingga hujan batu dari reruntuhan din­ding sekolah reda.


                         ”Astaga! Apa... apa yang telah kamu lakukan, Ra?” Seli
                  me­natap­ku, matanya membulat, melepas pelukan.


                         Apalagi aku, balik menatapnya dengan tatapan lebih tidak mengerti.
                  ”Apa... apa yang telah kamu lakukan tadi, Seli?”

                         ”Kamu bisa menghilangkan tiang listrik, Ra.” Seli memegang
                  lenganku.


                         ”Kamu juga tadi,” aku menelan ludah, ”kamu tadi menangkap kabel
                  listrik, Seli.”

                         Tangan kami masih gemetar. Kaki kami masih susah  disuruh
                  berdiri. Kejadian itu cepat sekali. Di sekitar kami hiruk­pikuk terdengar,
                  lebih ramai. Petugas berseragam oranye panik ber­larian. Beberapa
                  mengaduh kesakitan, berteriak minta tolong. Ke­bakaran besar
                  menyambar sisa gardu. Api menjulang tinggi, asap hitam mengepul.


                         Aku dan Seli masih saling memegang lengan, mencoba men­cerna
                  kejadian barusan.





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   123   124   125   126   127   128   129   130   131   132   133