Page 126 - Tere Liye - Bumi
P. 126

TereLiye “Bumi”   123




                         Sepersekian detik setelah teriakan itu,  salah satu trafo me­nyusul

                  meledak, kali ini lebih kencang dibandingkan letupan per­tama. Suara
                  dentumannya terdengar memekak­kan telinga, kemungkinan hingga dua­
                  tiga kilometer. Tanah yang kami injak te­­rasa bergetar. Itu ledakan yang
                  besar sekali hingga merontok­kan salah satu tiang listrik di trafo.

                         Tiang listrik setinggi pohon kelapa itu berderak roboh. Arah­nya
                  justru persis menuju kami berdua yang menatap kejadian de­ngan wajah
                  bingung. Delapan  kabelnya yang panjang ter­cerabut putus dari tiang
                  lain, bergerak liar bagai tentakel gurita. Kabel­kabel dengan muatan listrik
                  itu lebih dulu menyambar ke arah kami sebelum tiangnya datang.
                  Percikan api di mana­mana, seperti ada petir kecil merambat di kabel­
                  kabel itu. Mengeri­kan.


                         Aku berteriak panik, berusaha lari.

                         Seli mematung mendongak.


                         ”Lari, Seli!” Aku berusaha menarik lengan Seli.

                         Delapan kabel itu  bergerak lebih cepat.  Seperti  delapan ta­ngan
                  panjang yang siap menyengat.


                         ”Lari, Seli!” aku menjerit, menarik Seli yang mendongak, mematung.


                         Terlambat. Kami hanya bisa lari pontang­panting tiga langkah saat
                  dua kabel pertama siap menghantam, menyengat dengan te­gangan tinggi.
                  Aku bahkan terjatuh, pegangan tanganku di lengan Seli terlepas. Aku
                  menatap pasrah dua kabel itu datang.  Ya Tuhan! Apa yang akan terjadi
                  saat kabel itu menyentuh kami?

                         Sepersekian detik sebelum dua kabel itu sampai, Seli justru
                  mengangkat tangannya. Dia memasang badannya persis di hadap­anku,
                  melindungiku.


                         Aku menjerit panik. Apa yang dilakukan Seli?

                         Astaga! Seli justru menangkap dua kabel itu. Bagai halilintar, aliran
                  listrik merambat di tangan kiri Seli, meletup­letup. Tapi jangankan
                  menjerit kesakitan, wajah Seli mengernyit pun tidak. Dia melemparkan
                  dua kabel itu ke samping, menghantam tem­bok sekolah, membuat





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   121   122   123   124   125   126   127   128   129   130   131