Page 122 - Tere Liye - Bumi
P. 122
TereLiye “Bumi” 119
”Itu sih beda, Ra. Papa memang bilang nggak akan pulang. Tibatiba
harus dinas ke luar kota.” Mama menggeleng.
Aku lagilagi mengangguk.
”Asyik kali ya, Ra, kalau tibatiba pekerjaan Papa di kantor itu bisa
dihilangkan begitu saja. Wush, hilang. Papa jadi tidak perlu lagi bekerja
habishabisan.” Mama menatap piring nasi goreng di hadapannya.
Aku hampir tersedak, buruburu minum.
”Nggak mungkinlah, Ma.” Aku purapura tertawa.
Mama ikut tertawa. ”Iya, kan kalikali saja bisa.”
Kami berdua tertawa. Aku lamatlamat memperhatikan wajah letih
Mama yang segar sejenak karena tawa. Kalau saja Mama tahu anak
remajanya semalam telah menghilangkan bangku belajar, mungkin
Mama sekarang sudah berteriakteriak panik dengan wajah pucat.
***
Pagi hari di sekolah.
”Pagi, Ra.” Seli mengagetkanku saat turun dari angkot. ”Kamu naik
angkot? Papamu ke mana?”
”Masih tidur,” aku menjawab pendek, menerima uang kembalian,
melotot ke sopir yang kalau dilihat dari gelagatnya belum mandi pagi.
Dasar sopir angkot pelit, biasanya juga kalau anak sekolah tarifnya
separuh. Aku mengalah. Salahku juga sih, seharusnya tadi pakai uang
pas.
”Papaku lagi sibuk di kantor. Semalam pulang larut sekali, jadinya
aku berangkat sendiri,” aku menjawab pertanyaan Seli lebih baik.
Seli beroh sebentar.
http://pustaka-indo.blogspot.com