Page 127 - Tere Liye - Bumi
P. 127

TereLiye “Bumi”   124




                  percikan api besar. Dinding sekolah  ha­ngus terbakar, hitam hingga

                  radius dua meter. Enam kabel lain segera me­nyusul. Seli gesit menepis
                  tiga di  antaranya ke samping, se­mentara tiga yang lain tidak bisa dia
                  hindari, menghantam telak dada, perut, dan pahanya.

                         Aku gemetar menyaksikan tubuh Seli dibalut listrik. Percik­an api
                  membungkus badannya. Letupan cahaya merambat hingga leher, kepala,
                  rambut.  Sedetik berlalu, Seli menghantam­kan tangannya ke tanah,
                  seluruh aliran listrik itu mengalir me­lewati tangannya, masuk ke dalam
                  tanah, kemudian hilang tak ber­sisa.


                         Napasku tersengal. Apa yang sedang kulihat?

                         Tapi masalahnya jauh dari selesai. Sebuah tiang listrik raksasa
                  berderak kencang dari atas kami. Tidak ada aliran listriknya, tapi itu lebih
                  dari cukup untuk  menghancurkan atap dan tembok bangunan sekolah
                  apalagi kami yang ringkih berada di bawah­nya.


                         Demi menatap tiang besar itu, Seli lompat, bergegas, tiga kabel yang
                  melilit tubuhnya luruh ke bawah. Dia menyambar lenganku. Kali ini dia
                  yang berseru panik, ”Lari, Ra!”

                         Aku masih terduduk, mendongak. Kakiku masih gemetar
                  menyaksikan Seli dibalut aliran listrik.


                         Lagi pula tidak akan cukup waktunya.  Tiang  listrik yang  ter­buat
                  dari beton itu sudah dekat sekali. Ujungnya sudah meng­hantam atap
                  bangunan sekolah, bergemuruh. Genteng berjatuh­an. Siku­siku kayu
                  dan plafon patah, menyusul dinding sekolah berguguran, dan tiang besar
                  itu terus meluncur ke bawah,  tidak  kuasa ditahan bangunan sekolah
                  yang robek.


                         Aku gemetar menatapnya. Apa yang harus kulakukan?

                         ”Lari, Ra!” Seli berusaha menyeretku, yang tetap mematung.


                         Tiang listrik besar itu semakin dekat, bongkahan  dinding
                  berguguran di sekitar kami. Seli panik mengangkat tangannya,
                  melindungi kepala. Dia berusaha memelukku. Satu­dua bongkah­an
                  dinding berukuran kecil mengenai tubuhku, terasa sakit.






                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   122   123   124   125   126   127   128   129   130   131   132