Page 129 - Tere Liye - Bumi
P. 129

TereLiye “Bumi”   126




                         ”Kalau aku jadi kalian, aku akan segera pergi meninggalkan lo­kasi

                  ini.” Suara khas itu terdengar dari lorong belakang se­ko­lah.

                         Aku dan Seli menoleh. Sosok itu melangkah mendekat.


                         Ali muncul dari balik debu beterbangan, berdiri di dekat kami,
                  menatap serius.

                         ”Segera tinggalkan tempat ini, Ra, Seli.” Ali mengulurkan ta­ngan­,
                  menawarkan bantuan. ”Hanya butuh dua menit orang­orang akan
                  bergegas datang, ingin tahu apa yang  telah terjadi. Seluruh sekolah ini
                  akan dipenuhi penduduk hingga radius dua  kilo­meter yang mendengar
                  ledakan. Juga hanya butuh dua belas menit, puluhan mobil pemadam
                  kebaratan tiba dari pool ter­dekat. Kalian tidak ingin ditemukan dalam
                  situasi seperti ini, bukan? Karena jelas sekali tidak mudah menjelaskan
                  ke mana tiang listrik besar itu lenyap.” Ali menatapku, kemudian pindah
                  ke Seli. ”Juga menjelaskan bagaimana seluruh aliran listrik satu gardu
                  seperti disedot Bumi.”


                         Aku dan Seli saling tatap. Wajah kami kotor berdebu, me­nyisakan
                  mata.

                         ”Ayo, Ra! Seli! Sudah empat puluh detik  sia­sia, di ujung sana
                  sudah terdengar penduduk yang mendekat. Juga dari ruang guru,
                  setidaknya menurut perhitunganku, ada lima guru yang  akan kemari.
                  Kalian bergegas!” Ali berseru tegas.


                         Aku menelan ludah. Meski aku masih  bingung kenapa Ali ada di
                  hadapan kami, juga jelas aku tidak mudah percaya dengan si biang kerok
                  ini, tapi kalimatnya masuk akal. Kami tidak mau ditemukan dalam situasi
                  seperti ini. Akan ada banyak sekali per­tanyaan.


                         Aku terbatuk, meraih tangan Ali, beranjak berdiri. Seli juga ikut
                  berdiri, memegang tanganku, sambil menepis ujung pakaian yang kotor.
                  Nanti­nanti bisa dibicarakan soal kejadian ini. Kami  harus segera
                  menyingkir.

                         ”Kalian bisa jalan sendiri?” Ali memastikan.


                         Aku dan Seli mengangguk.






                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   124   125   126   127   128   129   130   131   132   133   134