Page 283 - Tere Liye - Bumi
P. 283

TereLiye “Bumi”   280




                         ”Oh ya?” Seli tertarik.


                         ”Coba saja, alat yang seperti pengering rambut. Kamu berdiri di
                  bawahnya, tekan tombol di dinding, bahasanya sih aku tidak paham, tapi
                  aku bisa menebak­nebaknya. Lagian tidak masalah keliru model rambut,
                  bisa diganti dengan cepat.”


                         ”Wah, aku kira itu alat apa tadi. Tidak berani kusentuh.”

                         Ali tertawa. ”Kamu harus berani mencoba, Sel, biar tahu.”


                         Aku juga memperhatikan alat itu, di sebelah wastafel. Tapi sama
                  seperti Seli, aku tidak berani memakainya. Siapa yang menjamin tidak
                  terjadi hal buruk? Bagaimana kalau ternyata alat itu mencukur seluruh
                  rambut? Tapi sepertinya Ali tidak pernah khawatir apa pun saat mencoba
                  hal­hal baru—termasuk risiko meledak sekalipun.

                         Kami beriringan menuju ruang makan, menuruni anak tangga.


                         Vey menyambut kami. Aku selalu suka melihat Vey di meja ma­kan,
                  mirip Mama. Vey akan ikut berdiri, menyapa riang, me­nyuruh duduk,
                  lantas sibuk mengambilkan makanan. Dia baru duduk lagi setelah piring
                  kami terisi semua dan gelas air minum penuh.


                         ”Ayo dimakan, anak­anak, jangan malu­malu. Semua masakan
                  dibuat spesial untuk kalian.” Vey duduk kembali, tersenyum lebar.

                         Aku mengangguk, balas tersenyum sopan. Makanan di atas piring
                  tetap sama anehnya dengan sarapan tadi pagi—malah ada bongkahan
                  besar di dalam bubur berwarna hitam. Aku ragu­ragu menyendoknya,
                  hanya seujung sendok, mencoba. Aku ter­senyum lebih lebar, ternyata
                  sama sedapnya seperti sarapan tadi pagi—bahkan lebih lezat.


                         ”Enak, Ra?” Seli di sebelahku bertanya pelan.

                         Aku mengangguk, balas berbisik, ”Jangan perhatikan  bentuk­nya,
                  Sel. Dimakan saja.”


                         Aku melirik Ali. Dia sudah menyuap dengan semangat, mulut­nya
                  penuh. Meja makan lengang sebentar. Kami sibuk dengan piring masing­
                  masing yang berbentuk sepatu.





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   278   279   280   281   282   283   284   285   286   287   288