Page 278 - Tere Liye - Bumi
P. 278

TereLiye “Bumi”   275




                         ”Indah sekali, bukan?” aku mengulang kalimatku.


                         Seli menoleh, mengangguk. ”Aku selalu suka menatap matahari
                  tenggelam, Ra. Selalu membuat hatiku hangat, damai. Sunset tadi indah
                  sekali. Kata Mama, waktu aku masih kecil, setiap kali diajak ke pantai,
                  saat sunset tiba, maka aku akan berhenti dari seluruh permainan, juga
                  kalau sedang menangis, diam seketika. Aku akan menatap sunset
                  sendirian, tidak bisa ditegur, tidak bisa diajak bicara hingga seluruh
                  matahari hilang. Aku suka sekali sunset.”


                         ”Itu karena kamu anggota Klan Matahari, Seli,” Ali men­celetuk.

                         ”Apa hubungannya?” Aku menatap Ali. Si genius ini kadang sok
                  tahu sekali.


                         ”Jelas, kan? Karena Seli itu dari Klan Matahari, jadi dia me­nyukai
                  matahari.”

                         ”Aku juga menyukai sunset.” Aku menggeleng, tidak sepen­dapat
                  dengan Ali. ”Teman­teman di sekolah juga banyak yang menyukai sunset,
                  tidak otomatis mereka dari Klan Matahari, kan?”


                         Ali menggaruk kepala.


                         ”Dan sebaliknya,  kalau kamu mau bilang orang­orang yang
                  menyukai purnama otomatis adalah anggota Klan Bulan, maka itu berarti
                  manusia serigala di film­film tidak masuk akal itu termasuk Klan Bulan.
                  Makhluk jadi­jadian. Padahal tidak ada manusia serigala di dunia ini,
                  bukan?”

                         Ali terdiam, tidak bisa membantah kalimatku.


                         Seli menahan tawa. ”Kalian berdua lama­lama cocok.”

                         ”Cocok apanya?” Aku melotot ke arah Seli.


                         ”Cocok saja. Kalian kan selalu bertengkar. Di sekolah bertengkar, di
                  rumah bertengkar, di kota kita bertengkar, juga di dunia ini bertengkar.
                  Itu bisa dua hal,  musuh besar atau me­mang cocok dua­duanya.” Seli
                  tertawa.







                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   273   274   275   276   277   278   279   280   281   282   283