Page 281 - Tere Liye - Bumi
P. 281

TereLiye “Bumi”   278




                         ”Ada dua kamar dengan pintu penghubung.” Vey mendorong pintu

                  yang menuju kamar di sebelah. ”Kamar yang satu ini lebih besar, bisa
                  untuk Seli dan Ra, yang satunya lebih kecil untuk Ali. Kalian bisa
                  menggunakan dua  kamar ini. Pakaian  bersih ada di lemari, juga ada di
                  kamar mandi, bisa kalian gunakan sebebas­nya. Jangan malu­malu,
                  anggap saja rumah sendiri.”

                         Aku mengangguk, bilang terima kasih.


                         ”Jika kalian sudah siap, segera turun. Meja makan ada di seberang
                  perapian. Dan jangan lama­lama, nanti makan malam­nya telanjur
                  dingin.” Vey tersenyum, melangkah menuju pintu, meninggalkan kami
                  bertiga.

                         Saat pintu ditutup dari luar, Ali sudah melempar sembarang
                  ranselnya ke lantai, langsung meloncat ke atas tempat tidur empuk,
                  meluruskan tangan dan kakinya.


                         Aku melotot melihat kelakuan si genius itu.

                         ”Ini nyaman sekali, Ra,” Ali berseru pelan, malah santai  tiduran.
                  ”Setelah seharian dikejar­kejar rombongan sirkus itu. Mual dan muntah.
                  Nikmat sekali tiduran sebentar.”


                         ”Kamarmu yang satunya, Ali! Ini kamar kami.” Aku me­nyuruh­nya
                  pindah.


                         ”Apa bedanya sih, Ra? Kan sama saja.” Ali tidak mau beranjak dari
                  tempat tidur. ”Kalian saja yang di kamar itu.”

                         ”Pindah, Ali, atau aku suruh Seli menyetrummu.”


                         Seli yang sedang memperhatikan seluruh kamar tertawa mendengar
                  kalimat mengancamku.

                         ”Kenapa sih kamu harus galak sekali, Ra? Tidak di kota kita, tidak
                  di dunia ini, masih saja galak. Cerewet.” Ali bersungut­sungut turun,
                  mengambil tas ranselnya di lantai.


                         ”Karena kamu meletakkan alat perekam di kamarku,” aku berseru
                  ketus.





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   276   277   278   279   280   281   282   283   284   285   286