Page 280 - Tere Liye - Bumi
P. 280

TereLiye “Bumi”   277




                         Kami bertiga berdiri di bawah daun pintu, memperhatikan.


                         ”Kalian tidak apa­apa, anak­anak?”  Vey melihat kami, melepas
                  pe­luk­an, menatap kami bergantian. ”Aduh, rambut kalian be­rantak­an
                  sekali, wajah kalian juga kotor. Kalian pasti melewati hari yang sulit.”


                         ”Bukan hanya sulit, Vey, kamu tidak akan mudah percaya apa yang
                  baru saja mereka lalui. Tapi mereka baik­baik saja. Kamu tidak perlu
                  cemas.” Ilo tersenyum.

                         Vey memegang tanganku dan Seli. ”Syukurlah. Aku sudah cemas
                  sekali sejak mendengar kabar kalian tadi siang.  Ayo, mari kutunjukkan
                  kamar kalian, ada beberapa kamar kosong di vila ini. Kalian pasti suka.
                  Kalian bisa segera mandi, berganti pakai­an, agar lebih segar.”


                         Aku, Seli, dan Ali mengikuti langkah Vey.

                         Kami masuk ke ruang tengah vila. Perapian besar menyala di pojok
                  ruangan, membuat suasana terasa hangat. Dengan segala kekacauan,
                  aku sampai tidak  menyadari bahwa di dunia ini suhu udaranya terasa
                  lebih dingin dibanding kota kami. Beberapa sofa panjang diletakkan di
                  depan perapian, juga meja­meja kecil dipenuhi buku, vas bunga, dan
                  benda­benda lain. Lampu kristal besar tergantung di langit­langit,
                  menyala lembut. Benda­benda di rumah ini tidak terlalu aneh, masih bisa
                  dikenali.


                         Vey menaiki anak tangga di samping perapian. Kami me­nuju lantai
                  dua. Juga tidak ada  lorong­lorong yang meng­hu­bung­kan ruangan­
                  ruangan di rumah ini. Aku ber­gumam, hanya selasar biasa. Kami
                  akhirnya tiba di dua kamar ber­dekat­an. Vey mem­buka salah satu
                  pintunya, terse­nyum, me­nyuruh kami masuk.


                         Aku menatap sekeliling kamar, nyaman dan bersih. Seli
                  mengembuskan napas. Aku tahu maksud helaan napas Seli. Dia lega
                  karena kamar ini tidak seaneh kamar kami di Rumah Bulan itu. Tempat
                  tidur besar diletakkan di lantai—tidak me­nempel di dinding dan bisa
                  naik­turun. Lemari  berbentuk ta­bung. Bentuk meja, kursi, dan cermin
                  besar tidak terlalu aneh.









                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   275   276   277   278   279   280   281   282   283   284   285