Page 315 - Tere Liye - Bumi
P. 315

TereLiye “Bumi”   312




                         Nyala api di perapian mengecil, lantas kembali normal seperti sedia

                  kala. Av duduk menjeplak di atas lantai, napas­nya men­deru, terlihat
                  lelah. Pakaian abu­abunya kotor oleh  debu, bahkan robek di kaki dan
                  dada. Rambut putihnya be­rantak­an. Wajahnya penuh  bercak hitam.
                  Buruk sekali kondisi­nya. Tongkatnya tergeletak di dekat kaki.

                         ”Ada apa, anak­anak?” Terdengar suara Ilo dari atas. Dia pasti
                  mendengar keributan di ruang tengah sehingga keluar dari ka­mar­nya.
                  Demi melihat Av duduk di lantai, Ilo bergegas me­nuruni anak tangga.


                         ”Kamu datang dari mana, Av?” Ilo berseru, menatap tidak per­caya.

                         ”Jangan banyak bertanya dulu.” Av mengangkat tangannya,
                  menggeleng. ”Ada hal penting yang harus kulakukan sekarang.”


                         Ilo terdiam—sama seperti kami yang sejak tadi hanya bisa diam.

                         Av menghela napas, beranjak mendekati orang yang terbaring di
                  lantai.


                         Orang yang terbaring di lantai mengenakan seragam gelap, sama
                  seperti Pasukan Bayangan, bahkan pakaiannya jauh lebih baik, dipenuhi
                  simbol­simbol yang tidak kupahami. Aku me­nelan ludah, orang ini pasti
                  anggota Pasukan Bayangan.


                         Av duduk di samping orang tersebut, memejamkan mata,
                  berkonsentrasi penuh, lantas tangan Av menyentuh leher orang itu. Meski
                  samar, di antara sinar lampu dan nyala perapian, aku bisa melihat ada
                  cahaya putih lembut keluar dari tangan Av, merambat ke perut, ke
                  kepala, menyelimuti seluruh tubuh orang yang terbaring entah hidup atau
                  mati.

                         Kami semua diam, menyisakan suara gemeretuk nyala api di
                  perapian.




                         Satu menit yang terasa panjang, cahaya putih itu semakin terang,
                  lantas perlahan­lahan memudar. Av melepaskan tangan­nya. Menghela
                  napas perlahan. ”Hampir saja. Hampir saja aku kehilangan dia.” Av
                  mengembuskan napas lega.





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   310   311   312   313   314   315   316   317   318   319   320