Page 348 - Tere Liye - Bumi
P. 348

TereLiye “Bumi”   345




                         Maka dengan berteriak parau, aku  justru panik memukulkan

                  tinjuku melayani pukulan Stad. Itu gerakan yang brilian—tanpa kusadari.
                  Tinju kami beradu, posisi kakiku kokoh, kuda­kudaku mantap,
                  sedangkan Stad melayang. Maka saat  dua tenaga bertemu, berdentum,
                  Stad terlontar jauh, menghantam langit­langit, lantas jatuh ke lantai
                  pualam.

                         Aku tidak sempat memastikan apakah Stad bisa bangkit atau tidak
                  karena empat panglima lain sudah menyerangku, susul­me­nyusul dalam
                  kegelapan. Aku segera lompat menjauh, ber­gerak cepat berlari di dinding.
                  Pukulan mereka berdentum susul­menyusul mengenai dinding, membuat
                  lubang besar.


                         Ruangan kembali terang beberapa detik kemudian. Aku mengeluh,
                  kekuatan menyerap cahaya itu tidak bertahan lama seperti yang
                  kuinginkan. Belum genap keluhanku, Stad bangkit berdiri, tubuhnya
                  kotor oleh debu. Stad menatapku marah. ”Pukul­anmu  kencang, tapi
                  tidak cukup untuk  menghabisi kami. Kamu perlu berlatih  lebih banyak.
                  Saatnya kamu belajar bagai­mana  petarung terbaik  Klan Bulan
                  bertempur.”


                         Stad melompat, tubuhnya menghilang. Disusul empat lainnya. Lima
                  panglima itu menghilang, kemudian muncul satu per satu  di sekitarku.
                  Aku menangkis dua serangan, merunduk meng­hindari serangan ketiga
                  dan keempat. Tapi  tinju Stad telak meng­hantam tubuhku, membuatku
                  terpelanting jauh ke pintu ruang­an.

                         Dengan buas Stad menghunjamkan tinjunya ke badanku yang
                  masih me­layang. Aku berseru jeri. Tidak sempat melakukan apa pun.


                         CTAR!

                         Selarik petir dengan cahaya terang menyambar dari lorong di
                  belakang. Tubuh  Stad terbanting jauh, dipanggang oleh geme­retuk
                  listrik.


                         Seli sudah masuk ke dalam ruangan, berteriak marah.

                         Tangan Seli terangkat lagi, petir berikutnya kembali me­nyambar ke
                  tengah ruangan,  sekali lagi menyelimuti tubuh Stad yang masih






                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   343   344   345   346   347   348   349   350   351   352   353