Page 344 - Tere Liye - Bumi
P. 344

TereLiye “Bumi”   341




                  kembali memberitahu kami. Kita akan men­diskusikan langkah

                  berikutnya. Jangan mengambil tindakan gegabah.”

                         Aku mengangguk. Rencana Ali masuk akal.


                         ”Apa pun yang kamu lihat, Ra, jangan mengambil tindakan sendiri.
                  Kembali ke sini. Karena mungkin saja mereka menyiap­kan jebakan buat
                  kita,” sekali lagi Ali mengingatkanku.

                         ”Aku mendengarnya, Ali,” aku berseru pelan.


                         ”Hati­hati, Ra.” Seli memegang lenganku, menyemangati.

                         Aku mengangguk, membuka pintu bulat di depan kami, dan masuk
                  ke lorong berikutnya. Menarik napas panjang, aku lantas bergerak ke
                  ujung lorong yang jaraknya hanya sepuluh meter, dan tiba di sana dengan
                  cepat.


                         Napasku menderu semakin kencang. Aku menyeka peluh di leher,
                  menatap pintu bulat. Ini ruangan  keempat yang akan kuperiksa.
                  Semenyebalkan apa pun Ali, perhitungan dia tidak pernah keliru. Di balik
                  pintu ini pasti ada sesuatu. Apakah itu ratusan anggota Pasukan
                  Bayangan? Panglima Barat? Atau bahkan Tamus? Miss Selena pasti
                  berada di antara mereka, ditahan dalam kondisi  ter­luka dan
                  mengenaskan.


                         Aku mengangkat telapak tangan ke wajah. Tubuhku segera
                  menghilang.

                         Saatnya aku masuk.


                         Perlahan kudorong pintu dengan siku. Syukurlah, setidak­nya
                  semua pintu di gedung ini tidak ada yang berderit karena engsel­nya
                  karatan. Pintu terbuka pelan. Tidak ada berkas cahaya  yang ke­luar
                  seperti ruangan sebelumnya. Aku mendorong pintu lebih lebar, mengintip
                  dari sela jari.

                         Ruangan di depanku remang, tidak gelap, tidak juga terang. Ada
                  cahaya redup yang datang dari langit­langit ruangan, seperti lampu yang
                  hanya dinyalakan separuh. Aku membuka pintu lebih lebar, memeriksa
                  seluruh sudut, kemudian terhenti me­natap persis ke tengah ruangan.





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   339   340   341   342   343   344   345   346   347   348   349