Page 347 - Tere Liye - Bumi
P. 347

TereLiye “Bumi”   344




                  atau lambat mereka akan menangkapku juga,  maka dengan menggigit

                  bibir, aku memutuskan menyerang lebih dulu.

                         Sarung tanganku langsung berubah hitam pekat, dalam radius dua
                  puluh meter cahaya segera menghilang. Aku loncat, memukul orang
                  paling dekat denganku, angin kencang mengalir di tinjuku. Terdengar
                  suara berdentum, orang itu langsung ter­pelanting jauh.


                         ”AWAS!” salah satu dari mereka berseru.

                         ”Aku bilang juga apa, Stad. Jangan pernah remehkan anak ini. Dia
                  memakai Sarung Tangan Bulan. Mundur ke tempat te­rang!”


                         Dentuman berikutnya kembali terdengar, aku sudah lompat ke
                  kanan, memukul yang lain. Orang yang kuserang sempat merunduk.
                  Pukulanku menghantam dinding, membuat retak.

                         Pertarungan segera meletus di ruangan gelap gulita itu. Lima lawan
                  satu. Aku diuntungkan karena bisa  melihat dalam gelap,  tapi lima
                  Panglima Pasukan Bayangan bukan nama omong ko­song. Orang yang
                  terpelanting telah berdiri, menyeka wajahnya, menggeram marah.


                         ”Kamu sendiri yang memintanya, Nak.” Orang itu loncat ke arahku.


                         Aku tidak tahu bagaimana cara mereka bisa melihatku, tapi
                  ke­untunganku karena ruangan gelap tidak bertahan lama. Me­reka jelas
                  lebih terlatih dalam pertarungan, mungkin membaca dari arah suara
                  angin pukulan.

                         Tinju Stad mengarah ke arahku. Aku membuat tameng, me­niru
                  gerakan Miss Selena sewaktu di aula.  Tameng  itu ter­bentuk, menyerap
                  pukulan Panglima Barat. Aku lompat ke samping  kiri, membalas
                  memukul, siap mengenai tubuhnya, tapi... terdengar suara gelombang air
                  pecah. Plop! Dia menghilang. Dan sebelum aku sempat menyadarinya,
                  Stad sudah muncul di atasku, meng­hantamkan tangan­nya.


                         Aku tidak sempat  membuat tameng.  Tidak sempat meng­hindar.
                  Aku tidak pernah berlatih berkelahi, tidak ada yang meng­ajariku trik bela
                  diri.








                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   342   343   344   345   346   347   348   349   350   351   352