Page 67 - Tere Liye - Bumi
P. 67

TereLiye “Bumi”   64




                  Si Hitam atau si Putih itu kan bisa  main sendiri, atau  mainnya nanti­

                  nanti?”

                         Aku buru­buru melipat tawa, mengangguk. Kalau Mama sudah
                  bete, memang lebih baik segera menyingkir. Kalau tidak, bakal ikutan
                  kena semprot. Aku meletakkan si Putih di lantai, berlari  kecil menaiki
                  anak tangga, masuk ke kamar, melemparkan tas ke kursi, refleks melihat
                  cermin, teringat tadi malam aku melihat bayangan si Hitam di sana. Tidak
                  ada. Aku mengeluh dalam hati, kenapa aku jadi aneh sekali? Aku
                  berharap menemukan si Hitam di dalam cermin. Itu mustahil, kan?
                  Telanjur menatap cermin, aku sejenak menatap jidatku, menghela napas.
                  Jerawatku terlihat  seperti bintang terang di gelap malam—atau malah
                  bulan saking besarnya. Hendak ku­pencet, tapi urung. Lebih baik segera
                  menyibukkan diri, su­paya aku lupa ada jerawat batu sialan di jidat.


                         Mood Mama membaik saat aku duduk hampir menghabiskan
                  makan siang setengah jam kemudian. Mama mengeringkan tangan
                  dengan handuk, bergabung ke meja makan.


                         ”Sudah selesai, Ma?”

                         ”Sudah,” Mama menjawab pendek.

                         ”Ma, nanti sore Seli mau main ke sini, mengerjakan PR bareng.
                  Boleh ya?” Aku teringat percakapan di angkot tadi, memberi­tahu.


                         Mama mengangguk, meraih piring, mendekati rice cooker.


                         ”Setidaknya mencuci dengan tangan bikin Mama jadi berke­ringat,
                  olahraga.” Mama bergumam, beranjak membuka tutup  mangkuk sup
                  daging. ”Eh, kamu habisin semua sup dagingnya, Ra?”

                         Aku mengangkat bahu. ”Kirain Mama sudah makan.”


                         ”Aduh, Ra, kan kamu bisa tanya Mama dulu.” Mama meng­omel,
                  membuka mangkuk lainnya. ”Kamu seharusnya tahu, Mama butuh
                  makan banyak setelah menaklukkan seember besar cucian.”

                         Aku menahan tawa, sebenarnya Mama  selalu melampiaskan sebal
                  dengan makan. Semakin bete, Mama semakin sering dan banyak makan.
                  ”Setidaknya Mama tidak melampiaskannya dengan belanja, Ra. Itu





                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   62   63   64   65   66   67   68   69   70   71   72