Page 69 - Tere Liye - Bumi
P. 69

TereLiye “Bumi”   66




                         Aku menggeleng. Siapa pula yang malu, ini cuma menjengkel­kan.


                         ”Atau jangan­jangan kamu malu dilihat teman laki­laki di se­kolah­,
                  ya? Ada yang naksir, Ra? Atau sebaliknya? Kamu naksir seseorang?”
                  Mama menyelidik. ”Siapa sih, Ra?”


                         Aku memonyongkan bibir. Mama itu tidak seru kalau lagi sebal. Hal
                  kedua pelampiasan Mama yang dibilang Papa dulu, selain makan, apa lagi
                  kalau bukan menggodaku.

                         ”Papa pulang malam lagi, Ma?” aku buru­buru banting setir
                  pembicaraan.


                         ”Iya, tadi Papa telepon. Papa lagi punya banyak urusan di kantor.”
                  Mama menghela napas prihatin, enggan bercerita lebih detail—meskipun
                  sebenarnya aku sudah tahu dari me­nguping semalam. ”Bos Papa marah­
                  marah terus.” Mama mengedip­kan mata, tersenyum tipis. ”Nah,
                  setidaknya, nanti  malam kamu boleh makan lebih dulu, tidak perlu
                  menunggu Papa pulang.”

                         Aku balas tersenyum tipis. Semoga Papa terus semangat.


                         Agar uring­uringan Mama tidak menjadi­jadi, aku menawar­kan diri
                  mencuci piring, juga membersihkan meja dan peralatan masak. Mama
                  membawa ember ke halaman belakang, menjemur pakaian basah. Tidak
                  banyak yang kulakukan setelah itu, me­milih membawa buku pelajaran
                  turun ke ruang tamu, menunggu Seli sambil membaca novel—seraya
                  berkali­kali refleks me­megang jerawat di jidat, memencet­mencet gemas.


                         Pukul setengah tiga persis bel rumah berbunyi nyaring.

                         ”Ra, ada tamu tuh!” Mama berteriak dari dalam.


                         Aku mengangguk, lalu berdiri hendak membuka gerbang pagar. Seli
                  sepertinya sudah tiba. Si Putih berlari menemaniku melewati halaman
                  rumput. Eh? Gerakan tanganku terhenti saat hendak membuka gerbang,
                  menatap ke depan. Bukan Seli yang datang.












                                                                            http://pustaka-indo.blogspot.com
   64   65   66   67   68   69   70   71   72   73   74