Page 15 - Naskah Gubernur Pertama di Indonesia
P. 15
2 Gubernur Pertama di Indonesia
pemimpin Indonesia, Sukarno dan Hatta, menyampaikan sikap dan
pendiriannya disertai harapan agar tentara Jepang tidak
menghalang-halangi pelaksanaan kemerdekaan karena segala risiko
atas proklamasi itu akan menjadi tanggung jawab rakyat Indonesia.
Maka, pada sidang hari kedua itu pula institusi PPKI yang
berbau Jepang diganti menjadi sidang KNI. Dengan demikian, sidang
hari kedua PPKI itu menjadi sidang hari pertama KNI. Sidang itu
secara khusus membahas pembagian daerah bekas wilayah
kekuasaan Hindia Belanda yang telah berganti menjadi wilayah
kekuasaan Republik Indonesia. Ditetapkan bahwa wilayah Republik
Indonesia ketika itu dibagi menjadi delapan Provinsi, yaitu Sumatera,
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Maluku, Sulawesi,
dan Kalimantan, yang dipimpin oleh gubernut.
Pada sidang tersebut sekaligus ditunjuk seorang gubernur
yang akan memimpin wilayah masing-masing. Kedelapan gubernur
dan wilayah kerjanya itu adalah Mr. Teuku Mohammad Hasan
(Sumatera), Soetardjo Kartohadikoesoemo (Jawa Barat), Raden Panji
Soeroso (Jawa Tengah), Raden Tumenggung Adipati Arjo Soerjo
(Jawa Timur), Mr. I Gusti Ketut Pudja (Sunda Kecil), Mr. Latuharhary
(Maluku), Dr. Gerungan Saul Samuel Jacob Ratulangi
(Sulawesi), dan Ir. Pangeran Mohammad Noor (Kalimantan).
[Sebagai catatan kecil, seluruh nama diri para gubernur tersebut
menggunakan Ejaan Van Ophuysen yang berlaku pada saat itu.]
Hampir semua gubernur yang baru diangkat tersebut adalah
tokoh yang mewakili daerah dan aktivis pergerakan nasional di
daerahnya. Selain itu tampil pula tokoh kharismatik lokal,
berpendidikan Barat, dan dari golongan bangsawan lokal, amtenar.
Terlihat secara jelas bahwa seluruh tokoh itu memiliki silsilah
geneologi kelas atas dalam masyarakatnya. Dengan kata lain, mereka
adalah bagian dari lapisan elite masing-masing wilayahnya.
Pengangkatan tokoh tersebut menandai bahwa mobilitas
horisontal pada era awal Republik belum berlaku seutuhnya. Di
tengah situasi yang masih “serbadarurat” setelah kemerdekaan, hal
tersebut mudah dipahami. Namun, bagaimanapun, kualitas pribadi
tokoh-tokoh pemimpin daerah yang terpilih tersebut tetap menjadi