Page 65 - Kelas XI_Sejarah Indonesia_KD 3.6
P. 65
65
Mohammad Yamin dilahirkan di Talawi, Sawahlunto pada 23 Agustus 1903. Ia
merupakan putra dari pasangan Usman Baginda Khatib dan Siti Saadah yang masing-
masing berasal dari Sawahlunto dan Padang Panjang. Ayahnya memiliki enam belas
anak dari lima istri, yang hampir keseluruhannya kelak menjadi intelektual yang
berpengaruh. Saudara-saudara Yamin antara lain: Muhammad Yaman, seorang
pendidik; Djamaluddin Adinegoro, seorang wartawan terkemuka; dan Ramana
Usman, pelopor korps diplomatik Indonesia. Selain itu sepupunya, Mohammad Amir,
juga merupakan tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia.
Yamin mendapatkan pendidikan dasarnya di Hollandsch-Inlandsche School
(HIS) Palembang, kemudian melanjutkannya ke Algemeene Middelbare School
(AMS) Yogyakarta. Di AMS Yogyakarta, ia mulai mempelajari sejarah purbakala dan
berbagai bahasa seperti Yunani, Latin, dan Kaei. Namun setelah tamat, niat untuk
melanjutkan pendidikan ke Leiden, Belanda harus diurungnya dikarenakan ayahnya
meninggal dunia. Ia kemudian menjalani kuliah di Rechtshoogeschool te Batavia
(Sekolah Tinggi Hukum di Jakarta, yang kelak menjadi Fakultas Hukum Universitas
Indonesia), dan berhasil memperoleh gelar Meester in de Rechten (Sarjana Hukum)
pada tahun 1932.
Mohammad Yamin memulai karier sebagai seorang penulis pada dekade 1920-
an semasa dunia sastra Indonesia mengalami perkembangan. Karya-karya pertamanya
ditulis menggunakan bahasa Melayu dalam jurnal Jong Sumatra, sebuah jurnal
berbahasa Belanda pada tahun 1920. Karya-karya terawalnya masih terikat kepada
bentuk-bentuk bahasa Melayu Klasik.
Pada tahun 1922, Yamin muncul untuk pertama kali sebagai penyair dengan
puisinya, Tanah Air; yang dimaksud tanah airnya yaitu Minangkabau di Sumatra.
Tanah Air merupakan himpunan puisi modern Melayu pertama yang pernah
diterbitkan.
Himpunan Yamin yang kedua, Tumpah Darahku, muncul pada 28 Oktober
1928. Karya ini sangat penting dari segi sejarah, karena pada waktu itulah Yamin dan
beberapa orang pejuang kebangsaan memutuskan untuk menghormati satu tanah air,
satu bangsa, dan satu bahasa Indonesia yang tunggal. Dramanya, Ken Arok dan Ken
Dedes yang berdasarkan sejarah Jawa, muncul juga pada tahun yang sama.
Dalam puisinya, Yamin banyak menggunakan bentuk soneta yang dipinjamnya
dari literatur Belanda. Walaupun Yamin melakukan banyak eksperimen bahasa dalam
puisi-puisinya, ia masih lebih menepati norma-norma klasik Bahasa Melayu,
berbanding dengan generasi-generasi penulis yang lebih muda. Ia juga menerbitkan
banyak drama, esei, novel sejarah, dan puisi. Ia juga menterjemahkan karya-karya
William Shakespeare (drama Julius Caesar) dan Rabindranath Tagore.