Page 60 - Kelas XI_Sejarah Indonesia_KD 3.6
P. 60
60
yang tepat. Simpul-simpul jaringan gerakan bawah tanah kelompok
Syahrir adalah kader-kader PNI Baru yang tetap meneruskan pergerakan
dan kader-kader muda yakni para mahasiswa progresif.
Sastra, seorang tokoh senior pergerakan buruh yang akrab dengan
Syahrir, menulis: “ Di bawah kepemimpinan Syahrir, kami bergerak di
bawah tanah, menyusun kekuatan subjektif, sambil menunggu
perkembangan situasi objektif dan tibanya saat-saat psikologis untuk
merebut kekuasaan dan kemerdekaan.”
Situasi objektif itu pun makin terang ketika Jepang makin terdesak
oleh pasukan Sekutu. Syahrir mengetahui perkembangan Perang Dunia
dengan cara sembunyi-sembunyi mendengarkan berita dari stasiun radio
luar negeri. Kala itu, semua radio tak bisa menangkap berita luar negeri
karena disegel oleh Jepang. Berita-berita tersebut kemudian ia sampaikan
ke Hatta. Sembari itu, Syahrir menyiapkan gerakan bawah tanah untuk
merebut kekuasaan dari tangan Jepang.
Syahrir yang didukung para pemuda mendesak Soekarno dan Hatta
untuk memproklamasikan kemerdekaan pada 15 Agustus karena Jepang
sudah menyerah, Syahrir siap dengan massa gerakan bawah tanah untuk
melancarkan aksi perebutan kekuasaan sebagai simbol dukungan rakyat.
Soekarno dan Hatta yang belum mengetahui berita menyerahnya Jepang,
tidak merespon secara positif. Mereka menunggu keterangan dari pihak
Jepang yang ada di Indonesia, dan proklamasi itu mesti sesuai prosedur
lewat keputusan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang
dibentuk oleh Jepang. Sesuai rencana PPKI, kemerdekaan akan
diproklamasikan pada 24 September 1945.
Sikap Soekarno dan Hatta tersebut mengecewakan para pemuda,
sebab sikap itu berisiko kemerdekaan RI dinilai sebagai hadiah Jepang dan
RI adalah buatan Jepang. Guna mendesak lebih keras, para pemuda pun
menculik Soekarno dan Hatta pada 16 Agustus. Akhirnya, Soekarno dan
Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI pada 17 Agustus.
Revolusi menciptakan atmosfer amarah dan ketakutan, karena itu
sulit untuk berpikir jernih. Sehingga sedikit sekali tokoh yang punya
konsep dan langkah strategis meyakinkan guna mengendalikan kecamuk
revolusi. Saat itu, ada dua orang dengan pemikirannya yang populer
kemudian dianut banyak kalangan pejuang republik: Tan Malaka dan Sutan
Syahrir. Dua tokoh pergerakan kemerdekaan yang dinilai steril dari noda
kolaborasi dengan Pemerintahan Fasis Jepang, meski kemudian
bertentangan jalan dalam memperjuangan kedaulatan republik.
Pada masa genting itu, Bung Syahrir menulis Perjuangan Kita.
Sebuah risalah peta persoalan dalam revolusi Indonesia, sekaligus analisis
ekonomi-politik dunia usai Perang Dunia II. Perjungan Kita muncul
menyentak kesadaran. Risalah itu ibarat pedoman dan peta guna
mengemudikan kapal Republik Indonesia di tengah badai revolusi.
Tulisan-tulisan Syahrir dalam Perjuangan Kita, membuatnya tampak
berseberangan dan menyerang Soekarno. Jika Soekarno amat terobsesi
pada persatuan dan kesatuan, Syahrir justru menulis, "Tiap persatuan
hanya akan bersifat taktis, temporer, dan karena itu insidental. Usaha-
usaha untuk menyatukan secara paksa, hanya menghasilkan anak banci.
Persatuan semacam itu akan terasa sakit, tersesat, dan merusak
pergerakan."
Dan dia mengecam Soekarno. "Nasionalisme yang Soekarno bangun
di atas solidaritas hierarkis, feodalistis: sebenarnya adalah fasisme, musuh
terbesar kemajuan dunia dan rakyat kita." Dia juga mengejek gaya agitasi
massa Soekarno yang menurutnya tak membawa kejernihan.