Page 62 - Kelas XI_Sejarah Indonesia_KD 3.6
P. 62
62
kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan
Perundingan Linggarjati yang akhirnya ditandatangani pada 15 November
1946.
Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia
nyalakan. Sebaliknya, sulit dibantah bahwa tanpa Bung Karno, Syahrir
tidak berdaya apa-apa.
Syahrir mengakui Soekarno-lah pemimpin republik yang diakui
rakyat. Soekarno-lah pemersatu bangsa Indonesia. Karena agitasinya yang
menggelora, rakyat di bekas teritori Hindia Belanda mendukung revolusi.
Kendati demikian, kekuatan raksasa yang sudah dihidupkan Soekarno
harus dibendung untuk kemudian diarahkan secara benar, agar energi itu
tak meluap dan justru merusak.
Sebagaimana argumen Bung Hatta bahwa revolusi mesti
dikendalikan; tak mungkin revolusi berjalan terlalu lama, revolusi yang
mengguncang ‘sendi’ dan ‘pasak’ masyarakat jika tak dikendalikan maka
akan meruntuhkan seluruh ‘bangunan’.
Agar Republik Indonesia tak runtuh dan perjuangan rakyat tak
menampilkan wajah bengis, Syahrir menjalankan siasatnya. Di
pemerintahan, sebagai ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia
Pusat (BP KNIP), ia menjadi arsitek perubahan Kabinet Presidensil menjadi
Kabinet Parlementer yang bertanggung jawab kepada KNIP sebagai
lembaga yang mempunyai fungsi legislatif. RI pun menganut sistem
multipartai. Tatanan pemerintahan tersebut sesuai dengan arus politik
pasca-Perang Dunia II, yakni kemenangan demokrasi atas fasisme. Kepada
massa rakyat, Syahrir selalu menyerukan nilai-nilai kemanusiaan dan anti-
kekerasan.
Dengan siasat-siasat tadi, Syahrir menunjukkan kepada dunia
internasional bahwa revolusi Republik Indonesia adalah perjuangan suatu
bangsa yang beradab dan demokratis di tengah suasana kebangkitan
bangsa-bangsa melepaskan diri dari cengkeraman kolonialisme pasca-
Perang Dunia II. Pihak Belanda kerap melakukan propaganda bahwa
orang-orang di Indonesia merupakan gerombolan yang brutal, suka
membunuh, merampok, menculik, dll. Karena itu sah bagi Belanda,
melalui NICA, menegakkan tertib sosial sebagaimana kondisi Hindia
Belanda sebelum Perang Dunia II. Mematahkan propaganda itu, Syahrir
menginisiasi penyelenggaraan pameran kesenian yang kemudian diliput
dan dipublikasikan oleh para wartawan luar negeri.
Ada satu cerita perihal sikap konsekuen pribadi Syahrir yang anti-
kekerasan. Di pengujung Desember 1946, Perdana Menteri Syahrir dicegat
dan ditodong pistol oleh serdadu NICA. Saat serdadu itu menarik pelatuk,
pistolnya macet. Karena geram, dipukullah Syahrir dengan gagang pistol.
Berita itu kemudian tersebar lewat Radio Republik Indonesia. Mendengar
itu, Syahrir dengan mata sembab membiru memberi peringatan keras
agar siaran itu dihentikan, sebab bisa berdampak fatal dibunuhnya orang-
orang Belanda di kamp-kamp tawanan oleh para pejuang republik, ketika
tahu pemimpinnya dipukuli.
Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa
sendiri, Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II sampai dengan Kabinet Sjahrir
III (1945 hingga 1947) konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat
jalur diplomasi. Syahrir tak ingin konyol menghadapi tentara sekutu yang
dari segi persenjataan jelas jauh lebih canggih. Diplomasinya kemudian
berbuah kemenangan sementara. Inggris sebagai komando tentara sekutu
untuk wilayah Asia Tenggara mendesak Belanda untuk duduk berunding