Page 262 - Sejarah Tokoh Nama Bandar Udara (PREVIEW)
P. 262

251                                                                             SEJARAH TOKOH NAMA BANDAR UDARASEJARAH TOKOH NAMA BANDAR UDARA



                                                                                         PENUTUP



                   Pada  1998 terjadi perubahan drastis di Indonesia. Lengsesrnya Presiden Suharto
             setelah 32 tahun berkuasa berdampak pada perubahan dalam segi kehidupan berbangsa.
             Salah satu dampak tersebut adalah dikeluarkannya Undang Undang Otonomi Daerah, yang

             menyebabkan terjadinya pemekaran sejumlah daerah di wilayah Indonesia. Perubahan
             jumlah provinsi di Indonesia. Hingga tahun 2004, terjadi pemekaran jumlah provinsi di
             Indonesia, yang semula berjumlah 27 berubah  menjadi 34 Provinsi.

                   Pemekaran tersebut juga berdampak pada pembangunan infrastuktur, antara lain,
             pembangunan bandar udara sebagai salah satu sarana transportasi di ibu kota provinsi
             baru  tersebut. Dalam  perkembangannya,  pengelolaan  bandar udara  juga  silih berganti
             mengalami perubahan, ada yang awalnya dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda,
             pemerintah bala tentara Jepang, pemerintah daerah, Direktorat Jenderal Perhubungan

             Udara, dan dari instansi Angkatan Laut. Saat ini (2019), pengelolaan bandar udara dipegang
             oleh Kementerian Perhubungan, Angkasa Pura I,  Angkasa Pura II, Otorita (Batam), dan
             Biro Penerbangan Angkatan Laut dan atau TNI AU

                   Perubahan lain yang terjadi adalah adanya perubahan nama beberapa bandar udara
             seperti yang terangkum dalam buku ini, yaitu dari nama tempat menjadi nama pahlawan atau
             tokoh. Di Banda Aceh, misalnya, pada zaman Jepang, bandar udaranya bernama Blang
             Bintang, kemudian setelah kemerdekaan menjadi Bandar Udara Sultan Iskandar Muda.
             Sebelum dikelola  oleh pihak Angkasa Pura II, bandar dara ini dikelola oleh pemerintah bala

             tentara Jepang. Demikian pula bandar udara di Palembang, yang dibangun pada masa Hindia
             Belanda, berubah namanya dari Talang Betutu menjadi Sultan Mahmud Badaruddin II dan
             pengelolaannya diserahkan kepada pihak Angkasa Pura II. Sementara itu, Bandar Udara

             Pangkal Pinang yang dibangun oleh pemerintah bala tentara Jepang, setelah kemedekaan
             dikelola oleh Angkasa Pura II dan mengalami perubahan nama menjadi Bandar Udara
             Depati Amir.
                   Bandar  udara  lain  yang  juga  mengalami  perubahan  nama  adalah  Bandar  Udara
             Tuban (Bali) yang dididirikan pada masa pemerintah kolonial Belanda sekitar tahun 1930-

             an, berubah nama menjadi Bandar Udara I Gusti Ngurah Rai. Bandar udara ini dikelola oleh
             pihak Angkasa Pura I, demikian pula Bandar Udara Kadieng (Sulawesi Selatan) yang juga
             dibangun oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1930-an mengalami perubahan

             nama menjadi Bandar Udara Sultan Hassanuddin.
                   Bandar Udara Ternate, yang kemudian lebih dikenal sebagai Bandar Udara Sultan
             Baabullah, sejak 1971 dikelola oleh Kementerian Perhubungan. Demikian pula untuk bandar
             udara di Gorontalo, badara ini didirikan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara pada
             1974 dengan nama Bandar Udara Tolotiu, kemudian mengalami perubahan nama menjadi

             Bandar Udara Djalaluddin. Hal yang sama juga terjadi pada Bandar Udara Temindung di
             Kalimantan Timur  dalam perkembangannya dikenal  sebagai Aji Pangeran  Tumenggung
             Pranoto.
   257   258   259   260   261   262   263   264   265   266   267