Page 109 - Final Sejarah Islam Asia Tenggara Masa Klasik
P. 109

Kompleksitas “peta bumi” ini akan   sifatnya–maka kesimpulan pertama   zaman komputer, makin pendek jarak   dan sistem otoritas ditentukan, maka
 menjadi jelas jika kita sadari pula bahwa   yang bisa ditarik tak lain daripada suatu   waktu yang bisa “dinikmati” oleh   tentu soal “haram” dan “halal” harus
 sikap dan jawaban terhadap masalah-  pengetahuan yang telah klise, yaitu   sebuah “gelombang”. Dengan kata lain,   diperjelas. Begitulah kasarnya. Tetapi
 masalah fundamental itu bisa saja   bahwa sebagai fenomena sosial, Islam   kompleksitas kehidupan dan “peta bumi   kini, dominasi politik dan ekonomi
 dianut seseorang atau sekelompok orang   masih merupakan proses yang terus   sosial” pemikiran keagamaan semakin   telah berada ditangan kekuasaan asing.
 dengan kombinasi yang berbeda-beda.  bergerak. Disaat terjadinya peralihan   cepat menaik di zaman modern. (tentu   “Perbatasan” komunitas seakan-akan
 “gelombang”, proses itu seakan-akan   saja gejala umum sejarah ini paling   telah dijadikan tak berarti. Maka,
 Jadi, jika kini banyak tokoh agama dan   menggugah keseluruhan komunitas   menonjol kelihatan dalam lapangan   memang bisa dimengerti juga bahwa
 tokoh pemerintahan kadang-kadang   umat–menjelang “abad modern” tentu   ilmu pengetahuan dan teknologi).   keampuhan tradisi dan pranata, yang
 merasa gelisah melihat berbagai corak   saja bercorak lokal dan terbatas –  Namun, timbul juga pertanyaan pada   dianggap telah “mewakili” secara utuh
 perbenturan umat, hal itu sangat bisa   tetapi ketika “suasana normal” telah   diri saya, jangan-jangan kelangkaan   keharusan doktrinal, dimasalahkan.
 dipahami. Sebab “peta bumi” pemikiran   kembali, proses itu hanya menyentuh   sumber–atau lebih tepat keterbatasan   Mengapa kekuatan “kafir” bisa
 itu memang cukup rumit. Namun,   mereka yang “mendapat panggilan   access saya kepada sumber-sumber   menginjak–injak kesucian “perbatasan”
 semua ini saya kira, memperlihatkan   Ilahi”. Kehadiran golongan inilah   yang relevan–telah menyebabkan saya   komunitas kita? Jadi, bisa dipahami
 bahwa kritalisasi pemikiran Islam masih   yang memungkinkan terpantulnya   tergelincir pada “model” dinamika   reformasi yang modernis dan apologis
 merupakan proses. Landasan konsensus   pemikiran dan renungan keagamaan   sosial kultural yang tampaknya   muncul. Dan ideologis muncul. Dan
 sementara—masih diusahakan.  yang kadang-kadang bisa sangat   terlalu logis. Bukankah tampat terasa   ideologi agamapun terjadi juga.
 bercorak kontemplatif dan akademis,   terlalu “necis” terjadinya peralihan
 dalam kancah kehidupan sosial.                     Memang ini suatu rentetan peristiwa
 Sketsa sebagai Kerangka   Dalam situasi ini agama tidaklah lagi   yang bermula dai hasrat menciptakan   yang runtut juga. Tetapi apakah realitas
 Sementara  semata-mata tampil sebagai pemberi   suatu komunitas kognitif Islami ke   sama dengan logika? Masalah ini
            “gelombang” kelima, ketika kesemua
                                                    adalah salah satu perdebatan dalam
 Sebuah sketsa hanyalah gambaran   suasana kekudusan yang bisa saja telah   unsur dari “gelombang-gelombang”   ilmu sejarah. Hanya saja, sebuah sketsa
 sementara. Bagi penulisan akademis,   menjadi peristiwa sosial yang rutin,   sebelumnya terlibat dalam proses   memang tak mungkin menangkap
 sketsa hanya bisa berperan sebagai   tetapi sebagai landasan idnetitas diri   wacana? Jika logika akan diikuti, maka   dinamika internal yang terjadi dalam
 petunjuk bagi pelaksanaan penelitian.   dalam menghadapi dunia sosial yang   apalagi yang harus dibenahi setelah   setiap “gelombang” (lagi-lagi harus
 Jadi, sketsa adalah ibarat ikhtisar   pluralistik.  “perbatasan” komunitas ditentukan   diingatkan “gelombang” tak pula
 skenario dalam perencanaan pembuatan   Meskipun telah terjadi perubahan   dan landasan dasarnya diletakkan,   lebih daripada suatu analytical devise).
 film. Sebagai usaha untuk melukiskan   konsep komunitas umat yang secaa   jika bukan internalisasi keyakinan dan   Sketsa, karena sifatnya, tak bisa
 realitas? Tidak! Sketsa tak lebih daripada   sosiologis dan politik dirasakan   ajaran pada diri pribadi dan sistem   menangkap kenyataan terputusnya
 indikasi akan adanya sesuatu dan proses   sebagai ril dan konkrit–dari “lokal”   otoritas? Setelah itu? Maka, bukankah   berbagai peristiwa dan terjadinya
 dari sesuatu. Namun jika saja sketsa   menjadi “nasional”–sketsa di atas   ketentuan-ketentuan hukum harus   perkembangan yang seperti zigzag.
 yang saya berikan di atas mempunyai   memperlihatkan juga gejala umum   diberlakukan? Setelah komunitas telah   Semua kemungkian keterputusan
 validitas–betapapun sementara   sejarah yang lain. Makin dekat ke   terbentuk, internalisasi ajaran terjadi   kontinuitas, penyimpangan dari alur



 96  Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik   Dinamika islam Di asia tenggara: masa klasik   97
   104   105   106   107   108   109   110   111   112   113   114