Page 24 - Final Sejarah Wilayah Perbatasan
P. 24
Jika menyadari strategisnya Natuna bagi eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, pemerintah Indonesia sejak tahun 1950-an hingga sekarang telah
memberikan perhatian yang lebih kepada kawasan ini.
Pada masa pemerintahan Presiden Sukarno, muncul cerita yang banyak diyakini
masyarakat Natuna bahwa Sukarno pernah berkunjung ke Natuna bahkan sampai
ke Pulau Laut yang kini menjadi kecamatan paling utara di Kabupaten Natuna dan
berbatasan dengan Laut China Selatan (Hardiansyah, 2018). Masih menurut sumber
yang sama, kunjungan Sukarno tersebut dalam rangka ekspedisi Nusantara tahun
1958 dengan menggunakan KM Djadajat. Kapal ini menabrak karang di antara Selat
Lampa dan Pulau Tiga yang sekarang masuk sebagai wilayah administrasi Kabupaten
Natuna 22 tahun berikutnya. Kapal tersebut di kalangan masyarakat Natuna lebih
dikenal sebagai “Kapal Sukarno” karena pernah digunakan oleh Sukarno menjelajah
nusantara, termasuk Natuna. Bahkan, menurut pengakuan warga Natuna, tulisan
tangan Sukarno kepada kru KM Djadajat yang dibuat pada tahun 1958 sebagai
pembangkit semangat juga berhasil diselamatkan sesaat sebelum kapal tersebut
karam dan hingga saat ini disimpan oleh warga Natuna (Hidayat, 2015). Sayangnya,
dalam kebijakan formal rencana pembangunan di masa kepresidenan Sukarno, kata,
baik “perbatasan” secara umum maupun kata “Natuna” secara spesifik tidak muncul
dalam dokumen-dokumen rencana pembangunan negara seperti TAP MPRS RI
No. II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Tahapan Pertama 1961—1969 dan TAP MPRS RI No. IV/MPRS/1963
TAHUN 1963 tentang Pedoman-Pedoman Pelaksanaan Garis-Garis Besar Haluan
Negara dan Haluan Pembangunan. Walaupun demikian, ada pula peraturan yang
dikeluarkan di masa tersebut yang sangat memengaruhi Natuna, yaitu PP Pengganti
Undang-Undang No.4 tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Peraturan tersebut
menganulir Pasal 1 ayat (1) angka 1 sampai dengan 4 ”Territoriale Zee en Maritieme
Kringen Ordonnantie 1939” (Staatsblad 1939 No. 442). PP tersebut menetapkan
bahwa pemerintah RI menambahkan 12 mil laut dari garis dasar (garis pangkal)
sebagai “laut wilayah Indonesia”, di samping Perairan Pedalaman Indonesia” yang
ada pada sisi dalam dari garis dasar tersebut. Berdasarkan peraturan ini, laut wilayah
Indonesia di sekitar Natuna bertambah dari 3 mil laut menjadi 12 mil laut keluar dari
garis dasar yang ada. Selain itu, pada masa Sukarno pulalah Lapangan Udara Ranai di
Natuna dibangun, tepatnya tahun 1955 (TNI AU, 2014).
Pada masa Orde Baru, perhatian kepada Natuna tampak mulai terasa karena pada 1980-
an, Presiden Soeharto membuka ladang eksplorasi lepas pantai di Laut Natuna kepada
perusahaan-perusahaan asing, yaitu Conoco, Marathon, Sumatera Gulf, Amoseas,
Esso, Total, dan Mobil (Kompas, 1986). Selain itu, di dalam Repelita , pemerintahan
Soeharto juga sudah mulai memberikan perhatian terhadap pentingnya memperlancar
dan meningkatkan daya guna dan hasil guna arus lalu lintas pangan antardaerah dengan
dukungan sarana angkutan darat, laut dan udara serta sarana dan prasarana pemasaran
lainnya secara memadai terutama di daerah-daerah terpencil dan daerah-daerah perbatasan
dalam Repelita kelima (1989/1990-1993/1994) serta penetapan kedaulatan atas wilayah
Mutiara di Ujung Utara 7