Page 525 - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Compile 18 Januari 2019
P. 525
PENUTUP
Oleh Anhar Gonggong 1
Pendidikan Yang Mencerahkan Warga Terdidik
Menuju dan Mewujudkan Hari Depan Indonesia
Merdeka
1. PENDAHULUAN: MEREKA TELAH MEMBERIKAN GAGASAN DAN KARYANYA
Sebelum melanjutkan uraian singkat pada lembar-lembar selanjutnya ada baiknya memberi catatan
tentang “epilog” dan “mencerahkan” karena kedua kata itu berkaitan erat dengan buku ini, yang berisi
riwayat dan karya mereka selama menduduki jabatan Menteri Pendidikan yang diamanahkan kepada
mereka dalam waktu tertentu. Epilog adalah 1) bagian penutup pada karya sastra, yang fungsinya
menyampaikan intisari cerita atau menafsirkan maksud karya itu oleh seorang aktor; 2) pidato singkat
pada akhir drama yang memuat komentar tentang apa yang dilakukan; dan 3) peristiwa terakhir yang
menyelesaikan peristiwa terakhir (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Depdikbud, 1998, hlm. 268); sedang
mencerahkan (cerah = terang, jernih) adalah menjadikan terang, menjadikan jernih (Ibid., 186).
Jika mengacu pada keterangan di atas, maka pendidikan yang dimaksudkan pada “epilog” ini ialah bagian
akhir buku ini yang memberikan keterangan penutup tentang makna buku yang mencatat secara singkat
riwayat dan karya-karya mereka selama jangka waktu menduduki jabatannya; juga untuk membuka
terang dan/atau jernih pikiran.
Bagi kita—dalam proses menuju dan menjadi bangsa-negara Indonesia—sejak 1945-sekarang, ketika
kita memasuki awal abad ke-20, tampillah beberapa warga anak negeri jajahan bangsa asing, bangsa
Belanda, dan nama negeri kita pada waktu itu diberikan oleh mereka sejak 1800: Nederlandsch–Indië
(Hindia Belanda). Warga negeri jajahan Hindia Belanda yang tampil ke arena depan untuk mengubah
nasib sesama warganya adalah warga yang mendapat kesempatan memasuki lembaga pendidikan yang
diadakan oleh penguasa kolonial ketika itu. Seperti diketahui, ada kebutuhan untuk memenuhi keperluan
tenaga terdidik anak negeri jajahan yang akan dipekerjakan di perusahaan-perusahaan dagang mereka,
khususnya perkebunan-perkebunan dengan pelbagai jenis tanamannya, dan juga memperoleh pegawai
pemerintah terdidik mengisi lowongan kerja yang diperlukan. Dalam kaitan itu ternyata warga negeri
jajahan yang mendapatkan pendidikan itu justru merupakan bibit-bibit yang melahirkan warga yang
secara berangsur “membangun kesadaran baru” untuk pada akhirnya mengubah nasib diri mereka.
Mereka yang dimaksud dengan pencipta kesadaran baru awal itu ialah siswa-siswa Kedokteran Jawa
(STOVIA) yang berusia muda, 18-23 tahun, yang menciptakan alat baru untuk mengubah nasibnya,
Boedi Oetomo, yang dibentuk pada “ke-rapat-an” tanggal 20 Mei 1908. Pemrakarsanya ialah siswa
Soetomo yang mengajak delapan orang kawannya untuk melakukan tindakan yang pada waktu itu
adalah suatu tindakan untuk “pemajuan” sesama anak negeri jajahan.
Setelah kita merdeka persoalan pendidikan dan kebudayaan tetap mendapat tempat “yang utama”,
karena justru lembaga-lembaga pendidikan kita sebagai lembaga yang akan mencerdaskan otak-pikiran
1 Direktur Sejarah dan Nilai Tradisional, Ditjen. Kebudayaan, Depdikbud, 1996-2000; Deputi Menteri Kebudayaan dan Pariwisata
Bidang Sejarah dan Purbakala, 2001-2003; Tenaga Profesional Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) RI, 2009-sekarang. Pengajar
di Fakultas Ilmu Administrasi dan Komunikasi Unika Atmajaya, Jakarta, 1984-sekarang; pengajar pada Pascasarjana-Sejarah Universitas
Negeri Jakarta, 2004-sekarang.
MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA 1945-2018 513