Page 106 - UKBM-B. Indonesia-smt 3-dikonversi_Neat
P. 106
BIN – 3.8/ 4.8/ 3 / 1.1
Apakah wajah cantik juga pasaran? Tapi aku yakin, kataku padanya, setiap orang
yang datang ke kehidupan kita, entah hanya sekejap atau lama, baik yang secara
sengaja atau tidak, pasti memiliki alasan-alasan, termasuk kau.
Dia hanya menyunggingkan senyum. Kuperhatikan penonton di dekat tiang
tenda. Seorang perempuan mengenakan celana kain, mungkin seorang guru atau
seorang karyawan sebuah kantor pemerintahan, sedang menahan anaknya yang
berambut keriting, kira-kira berusia enam tahun, untuk tidak pergi kelayapan di
sela-sela kerumunan penonton.
Anak itu tetap memaksa. Akhirnya, perempuan berwajah lembut itu
membiarkan anaknya lari-lari memutari area pertunjukan yang tidak terlalu besar.
Pertunjukan masih terus berlangsung.
Cahaya lampu yang ada di atas panggung seolah memisahkan kami sebagai
penonton dengan Gomblo sebagai sebuah dunia yang sedang kami tonton. Ibarat
sebuah film di bioskop, pertunjukan yang ditampilkan Gomblo adalah adegan-
adegan yang ditampilkan pada sebuah layar melalui suatu sistem yang sudah
dirancang khusus, sementara kami merasa seolah berada di dunia yang lain, dunia
penonton. Padahal, antara kami dan Gomblo di atas panggung hanya terpisah oleh
jarak kira-kira dua meter.
Setelah hampir satu jam berlangsung Gomblo mengakhiri pementasannya
dengan menundukkan kepala seraya diikuti gemuruh tepuk tangan penonton.
Pembawa acara naik lagi ke atas panggung dan meminta dua penonton maju ke
depan, meminta pendapat mereka tentang pertunjukan tadi.
Aku mengajak perempuan itu menjauh dari ingar-bingar panggung. Aku
mengambil dua botol teh dingin dan membayar semuanya dengan uang 50 ribu
rupiah. Seraya memberikan satu botol kepada perempuan itu aku menyebutkan
namaku, dia juga.
“Bagaimana penilaianmu terhadap pertunjukan tadi?” tanyaku tidak ingin
kehilangan kesempatan mengobrol dengannya.
“Jujur, aku tidak terlalu menikmatinya.” Dia kelihatan agak kaku. “Maksudku, aku
tidak bisa menilainya secara objektif.”
“Kau terlihat tegang.”
Dia meminum teh botol beberapa tegukan. “Laki-laki yang tadi
mementaskan monolog adalah mantan suamiku. Dulu kami sama-sama bergabung
dalam satu kelompok teater.”
Aku menelan ludah. “Saat masih bersama-sama kami kerap bertengkar dan
itu dipicu oleh kebutuhan-kebutuhan keluarga. Dua tahun yang lalu kami
memutuskan bercerai. Kadang, masalah ekonomi menjadi sebab bercerainya
sepasang suami-istri.”
106