Page 103 - UKBM-B. Indonesia-smt 3-dikonversi_Neat
P. 103

BIN – 3.8/ 4.8/ 3 / 1.1







                        yang  sebentar  lagi  akan  dimulai.  Gedung  Kebudayaan,  seperti  namanya,  adalah
                        sebentuk  bangunan  tradisional  dengan  kontur  pagar  menyerupai  bangunan
                        kerajaan-kerajaan masa lampau.


                               Di  depan  panggung  pertunjukan  disediakan  kursi,  tapi  aku  memutuskan
                        untuk tidak duduk di sana. Terlalu dekat. Aku memilih duduk di belakang karena
                        dari  sana  aku  bisa  memperhatikan  gerak-gerik  setiap  pengunjung  yang  datang,
                        apakah mereka datang karena benar-benar ingin menonton pertunjukan monolog
                        atau hanya ingin menghindari sepi dan kejenuhan-kejenuhan.


                        “Sudah tadi?” Seorang kawan lama duduk di sebelahku, lalu menawariku air mineral
                        yang sudah tinggal setengah botol.


                        “Lumayan.”

                        “Kau tahu siapa yang akan menampilkan pertunjukan monolog?”

                        Aku menggeleng. “Pemain teater?”


                        “Gomblo. Tokoh teater lokal yang terkenal. Kau tahu?”

                               Aku menggeleng. Namanya saja aku baru dengar sekarang. Aku tidak tahu
                        bagaimana sebenarnya tokoh teater bernama Gomblo itu. Aku menebak, mungkin
                        dia  seperti  kebanyakan  anak  teater  yang  tak  sengaja  kulihat  di  Kafe  Pustaka,
                        mengenakan kaus oblong warna hitam atau putih dengan sedikit kata-kata di bagian
                        dada  atau  punggung,  mengenakan  flat  cap  dan  atribut  lain  seperti  tas  samping
                        terbuat dari kain.

                               Acara  dimulai  dengan  penampilan  tari  yang  dilakukan  beberapa  anggota
                        sebuah kelompok teater dari Surabaya. Seusai pertunjukan tari seorang pembawa
                        acara naik ke atas panggung, berbasa-basi sebentar, lalu memanggil nama Gomblo
                        untuk mementaskan monolog yang sudah ditunggu-tunggu.


                               Aku berdiri sebentar, lalu duduk kembali menopang dagu. Orang-orang yang
                        tidak kebagian kursi berdiri. Seorang laki-laki bertubuh pendek menjulurkan kepala
                        dari balik punggung seseorang yang ada di depannya.

                               Dalam monolognya  Gomblo  melontarkan kata-kata  yang seolah mengolok-
                        olok  dirinya  sendiri.  Katanya,  sastrawan  tak  bisa  berbuat  banyak  tanpa  bantuan
                        penerbit. Dan tanpa pembaca yang ingin menikmati sastra, takkan ada penerbit yang
                        mau menerbitkan buku-buku puisi. Padahal puisi, katanya lagi dengan penekanan
                        suara tajam dan dalam, selalu mengajarkan kita untuk tidak bunuh diri.

                               Sambil menyimak bahasa satire Gomblo aku memperhatikan wajah orang-
                        orang yang berdiri menghadap panggung. Perhatian mereka tersedot begitu dalam.
                        Lalu,  di  tengah  kerumunan  itu  pandanganku  terbentur  pada  seorang  perempuan
                        berkerudung biru mengenakan jaket putih motif bunga.






                                                              103
   98   99   100   101   102   103   104   105   106   107   108