Page 104 - UKBM-B. Indonesia-smt 3-dikonversi_Neat
P. 104

BIN – 3.8/ 4.8/ 3 / 1.1







                               Dia  berdiri  mendekap  tubuhnya  sendiri.  Wajahnya  memantulkan  cahaya-
                        cahaya yang datang dari panggung. Aku tidak mengenal perempuan itu. Tapi pada
                        bentuk wajah, garis bibir, dan matanya yang serupa ekor kelinci aku merasa sedang
                        melihat seorang perempuan yang sangat kukenal, seorang perempuan yang diam-
                        diam kuperhatikan selalu duduk di dekat jendela.

                        “Sendirian?” tanyaku sok akrab.

                        Dia menoleh sebentar. “O, ya. Sendiri. Kau?”


                        “Seperti yang kau lihat. Suka pertunjukan monolog?”

                        “Dulu. Sekarang tidak begitu. Kau?”


                        “Aku ke sini hanya ingin melihat Nor Agus membaca puisi.”

                        “Nor Agus? Penyair dan cerpenis itu?”

                        “Dia  juga  seorang  sutradara.  Pertunjukan-pertunjukan  teater  garapannya  selalu
                        penuh penonton dan dinikmati artis-artis terkenal.”

                               Dia diam. Aku menerka, kalau dulu dia memang penyuka teater, seharusnya
                        dia  mampu  meraba  maksud  kata-kataku.  Tapi  karena  dia  tidak  memberikan
                        tanggapan, konsentrasiku kembali pada Gomblo yang kini duduk di kursi, menulis
                        menggunakan  mesin  ketik,  yang  mengeluarkan  suara-suara  keras  saat  huruf-
                        hurufnya  ditekan.  Dua  perempuan,  yang  bertindak  sebagai  tokoh  figuran  dan
                        sengaja  tampil  dengan  ekspresi  wajah  dungu,  duduk  di  lantai  dengan  rambut
                        keriting yang dibiarkan terurai tak beraturan.

                               Para penonton sangat serius menghunjamkan tatapan ke panggung. Apakah
                        mereka  benar-benar  menikmati  pertunjukan  atau  sekadar  mencairkan  kebekuan-
                        kebekuan setelah seharian mendekap di dalam kantor, aku tidak tahu.


                               Penonton yang berdiri di sisi kanan semakin merangsek maju saat Gomblo
                        berhenti  mengetik,  turun  dari  panggung,  mondar-mandir  memelototi  penonton
                        seraya berkelakar tentang nasib tak beruntung yang kerap menerpa para pekerja
                        sastra.

                        “Mau?” Perempuan itu menawarkan roti yang masih terbungkus plastik.

                        “Terima kasih.” Aku menatap wajahnya.


                        “Wajahmu mengingatkanku pada seseorang.”

                        “O, ya?” Dia menoleh. Matanya mengabarkan bahwa dia tidak percaya dengan apa
                        yang kukatakan. “Wajahku memang pasaran.”

                        “Aku tidak bilang begitu.”




                                                              104
   99   100   101   102   103   104   105   106   107   108   109