Page 123 - UKBM-B. Indonesia-smt 3-dikonversi_Neat
P. 123
BIN – 3.9/ 4.9/ 3 / 1.1
berbondong-bondong menuhankan akal. Apa yang tidak sesuai dengan akal akan
diragukan kebenarannya.”
“Indra dan akal hanya alat untuk memastikan kebenaran. Apakah benar laut
berwarna biru? Jangan-jangan warna laut itu bukan yang sebenarnya. Yang
sebenarnya, barangkali, adalah pantulan warna langit.”
Aku mengangguk-angguk. Kami kembali menikmati pertunjukan. Kupikir
akan segera selesai, tapi ternyata tidak. Anehnya, pikiranku tidak bisa lepas dari
perempuan itu Selain memiliki wajah cantik dan penge tahuan luas, dia juga cukup
mudah diajak berdiskusi, meskipun sebenarnya aku tidak terlalu suka berdiskusi.
Semakin memikirkannya pikiranku melambung semakin jauh. Terutama tentang
seorang perempuan yang selalu duduk di dekat jendela dan kulihat bersemayam
dalam dirinya.
“Kau masih berpikir bahwa aku mengingatkanmu pada seseorang?” Dia menoleh,
memastikan aku mendengar kata-katanya, lalu memalingkan wajah ke panggung.
Aku tidak bisa untuk bilang tidak. “Bukan hanya mengingatkan, tapi kau mirip sekali
dengannya.”
“Sudah kubilang, wajahku pasaran. Yang memiliki bentuk wajah sepertiku pasti
banyak, tidak hanya aku.”
Apakah wajah cantik juga pasaran? Tapi aku yakin, kataku padanya, setiap orang
yang datang ke kehidupan kita, entah hanya sekejap atau lama, baik yang secara
sengaja atau tidak, pasti memiliki alasan-alasan, termasuk kau.
Dia hanya menyunggingkan senyum. Kuperhatikan penonton di dekat tiang
tenda. Seorang perempuan mengenakan celana kain, mungkin seorang guru atau
seorang karyawan sebuah kantor pemerintahan, sedang menahan anaknya yang
berambut keriting, kira-kira berusia enam tahun, untuk tidak pergi kelayapan di
sela-sela kerumunan penonton.
Anak itu tetap memaksa. Akhirnya, perempuan berwajah lembut itu
membiarkan anaknya lari-lari memutari area pertunjukan yang tidak terlalu besar.
Pertunjukan masih terus berlangsung.
Cahaya lampu yang ada di atas panggung seolah memisahkan kami sebagai
penonton dengan Gomblo sebagai sebuah dunia yang sedang kami tonton. Ibarat
sebuah film di bioskop, pertunjukan yang ditampilkan Gomblo adalah adegan-
adegan yang ditampilkan pada sebuah layar melalui suatu sistem yang sudah
dirancang khusus, sementara kami merasa seolah berada di dunia yang lain, dunia
penonton. Padahal, antara kami dan Gomblo di atas panggung hanya terpisah oleh
jarak kira-kira dua meter.
Setelah hampir satu jam berlangsung Gomblo mengakhiri pementasannya
dengan menundukkan kepala seraya diikuti gemuruh tepuk tangan penonton.
123