Page 120 - UKBM-B. Indonesia-smt 3-dikonversi_Neat
P. 120

BIN – 3.9/ 4.9/ 3 / 1.1







                                                    Pertunjukan Monolog
                                                       By Latif Fiyanto
                                                 Republika, Ahad 07 April 2019

                        Nyatanya kita lebih sering tertipu oleh apa yang sampai pada mata.

                               Aku meninggalkan rumah menjelang Isya. Jalanan sangat ramai dan sesak,
                        padahal  bukan  akhir  pekan.  Dari  dua  arah  berlawanan,  yang  ditandai  oleh  garis
                        putus-putus  warna  putih,  kendaraan  bergerak  seperti  kura-kura  berlari  di  atas
                        pasir.  Aku  benci  kondisi  jalanan  yang  seperti  ini.  Namun,  demi  menyaksikan  Nor
                        Agus, penyair terkenal yang kukagumi, membacakan puisinya selepas pertunjukan
                        monolog, aku rela menembus sesak kendaraan dan segesit mungkin mencari ruang
                        untuk menyalip.

                               Sebenarnya,  tidak  butuh  waktu  lama  untuk  sampai  di  lokasi  pertunjukan.
                        Tetapi  karena  macet,  penyakit  yang  kerap  menjangkiti  kota  ini,  aku  butuh  waktu
                        setengah  jam  untuk  sampai.  Acara  pertunjukan  diletakkan  di  halaman  depan
                        Gedung  Kebudayaan,  di  bawah  tenda  yang  dipasang  khusus  dan  sementara.
                        Pertunjukan  sengaja  diletakkan  di  luar  karena  ruang  utama  gedung  digunakan
                        untuk pameran buku.

                               Aku duduk di teras depan Gedung Kebudayaan, tidak jauh dari pintu utama.
                        Seorang perempuan bertubuh ramping mengenakan ID card yang digantungkan di
                        leher  berdiri  di  depan  pintu  utama.  Seorang  perempuan  lain,  bertubuh  gempal,
                        mengenakan  kaus  warna  putih,  mondar-mandir  menyiapkan  acara  pertunjukan
                        yang  sebentar  lagi  akan  dimulai.  Gedung  Kebudayaan,  seperti  namanya,  adalah
                        sebentuk  bangunan  tradisional  dengan  kontur  pagar  menyerupai  bangunan
                        kerajaan-kerajaan masa lampau.


                               Di  depan  panggung  pertunjukan  disediakan  kursi,  tapi  aku  memutuskan
                        untuk tidak duduk di sana. Terlalu dekat. Aku memilih duduk di belakang karena
                        dari  sana  aku  bisa  memperhatikan  gerak-gerik  setiap  pengunjung  yang  datang,
                        apakah mereka datang karena benar-benar ingin menonton pertunjukan monolog
                        atau hanya ingin menghindari sepi dan kejenuhan-kejenuhan.

                        “Sudah tadi?” Seorang kawan lama duduk di sebelahku, lalu menawariku air mineral
                        yang sudah tinggal setengah botol.

                        “Lumayan.”


                        “Kau tahu siapa yang akan menampilkan pertunjukan monolog?”

                        Aku menggeleng. “Pemain teater?”

                        “Gomblo. Tokoh teater lokal yang terkenal. Kau tahu?”


                               Aku menggeleng. Namanya saja aku baru dengar sekarang. Aku tidak tahu
                        bagaimana sebenarnya tokoh teater bernama Gomblo itu. Aku menebak, mungkin
                        dia  seperti  kebanyakan  anak  teater  yang  tak  sengaja  kulihat  di  Kafe  Pustaka,



                                                              120
   115   116   117   118   119   120   121   122   123   124   125