Page 121 - UKBM-B. Indonesia-smt 3-dikonversi_Neat
P. 121
BIN – 3.9/ 4.9/ 3 / 1.1
mengenakan kaus oblong warna hitam atau putih dengan sedikit kata-kata di bagian
dada atau punggung, mengenakan flat cap dan atribut lain seperti tas samping
terbuat dari kain.
Acara dimulai dengan penampilan tari yang dilakukan beberapa anggota
sebuah kelompok teater dari Surabaya. Seusai pertunjukan tari seorang pembawa
acara naik ke atas panggung, berbasa-basi sebentar, lalu memanggil nama Gomblo
untuk mementaskan monolog yang sudah ditunggu-tunggu.
Aku berdiri sebentar, lalu duduk kembali menopang dagu. Orang-orang yang
tidak kebagian kursi berdiri. Seorang laki-laki bertubuh pendek menjulurkan kepala
dari balik punggung seseorang yang ada di depannya.
Dalam monolognya Gomblo melontarkan kata-kata yang seolah mengolok-
olok dirinya sendiri. Katanya, sastrawan tak bisa berbuat banyak tanpa bantuan
penerbit. Dan tanpa pembaca yang ingin menikmati sastra, takkan ada penerbit yang
mau menerbitkan buku-buku puisi. Padahal puisi, katanya lagi dengan penekanan
suara tajam dan dalam, selalu mengajarkan kita untuk tidak bunuh diri.
Sambil menyimak bahasa satire Gomblo aku memperhatikan wajah orang-
orang yang berdiri menghadap panggung. Perhatian mereka tersedot begitu dalam.
Lalu, di tengah kerumunan itu pandanganku terbentur pada seorang perempuan
berkerudung biru mengenakan jaket putih motif bunga.
Dia berdiri mendekap tubuhnya sendiri. Wajahnya memantulkan cahaya-
cahaya yang datang dari panggung. Aku tidak mengenal perempuan itu. Tapi pada
bentuk wajah, garis bibir, dan matanya yang serupa ekor kelinci aku merasa sedang
melihat seorang perempuan yang sangat kukenal, seorang perempuan yang diam-
diam kuperhatikan selalu duduk di dekat jendela.
“Sendirian?” tanyaku sok akrab.
Dia menoleh sebentar. “O, ya. Sendiri. Kau?”
“Seperti yang kau lihat. Suka pertunjukan monolog?”
“Dulu. Sekarang tidak begitu. Kau?”
“Aku ke sini hanya ingin melihat Nor Agus membaca puisi.”
“Nor Agus? Penyair dan cerpenis itu?”
“Dia juga seorang sutradara. Pertunjukan-pertunjukan teater garapannya selalu
penuh penonton dan dinikmati artis-artis terkenal.”
Dia diam. Aku menerka, kalau dulu dia memang penyuka teater, seharusnya
dia mampu meraba maksud kata-kataku. Tapi karena dia tidak memberikan
tanggapan, konsentrasiku kembali pada Gomblo yang kini duduk di kursi, menulis
121